Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengacara Suryadharma: KPK Buka Kotak Pandora Mereka Sendiri

Kompas.com - 01/04/2015, 08:07 WIB
Dani Prabowo

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Pengacara mantan Menteri Agama, Suryadharma Ali, Humphrey Djemat menilai, Komisi Pemberantasan Korupsi telah membuka rahasianya sendiri terkait penghitungan kerugian negara saat mengusut kasus dugaan korupsi penyelenggaraan ibadah haji 2012/2013. KPK dinilainya tidak melibatkan Badan Pemeriksa Keuangan untuk melakukan proses perhitungan tersebut.

"Kotak pandora yang selama ini menjadi misteri mengenai unsur kerugian negara yang diakibatkan dari kesalahan Suryadharma Ali dalam menyelenggarakam ibadah haji telah dijawab jelas oleh KPK," kata Humphrey, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (31/3/2015).

Pada hari ini, Rabu (1/4/2015), PN Jakarta Selatan kembali melanjutkan sidang gugatan praperadilan yang diajukan Suryadharma terhadap KPK. Sidang yang mengagendakan pembuktian dari Suryadharma itu akan dimulai pada pukul 08.00 WIB.

Humphrey mengatakan, berdasarkan keterangan KPK pada persidangan kemarin, kerugian negara sebesar Rp 3,4 miliar merupakan hasil perhitungan oleh penyidik. Sementara, potensi kerugian Rp 1 triliun diperoleh dari keterangan saksi-saksi.

Ia menambahkan, kerugian negara seharusnya dimuat dalam sangkaan, sebelum KPK menetapkan seseorang sebagai tersangka.

"KPK dalam jawabannya menyatakan, pada saat Suryadharma dinyatakan sebagai tersangka yaitu tanggal 22 Mei 2014 sudah ada dua bukti permulaam yang cukup dan 400 dokumen yang mendukung. Jawaban itu menunjukkan saat itu KPK baru memulai penyidikan dan seharusnya belum menetapkan Suryadharma sebagai tersangka," ujarnya.

Humphrey mengatakan, Pasal 2 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur proses penyidikan dimulai dengan mengumpulkan keterangan dan bukti. Setelah seluruh bahan itu terang dan dapat menunjukkan adanya pidana, menurut dia, KPK baru dapat menentukan tersangka.

"Jadi yang dilakukan KPK justru terbalik saat dimulainya penyidikan. Tersangka ditentukan, setelah itu baru dikumpulkan keterangan dan bukti," katanya.

Sementara itu, pengacara KPK Chatarina M Girsang tak menampik pernyataan yang dilontarkan Humphrey. Menurut dia, saat ini kerugian keuangan negara masih dalam proses penghitungan. Oleh karena itu, kata dia, apa yang dilakukan KPK dalam menetapkan Suryadharma sebagai tersangka tidak keliru.

"Jadi kan ketika proses penyelidikan, yang harus dibuktikan adalah bukti permulaan. Bukti permulaan sudah ada di proses penyelidikan," kata Chatarina.

Chatarina menjelaskan, bukti permulaan yang menjadi indikasi adanya kerugian keuangan negara dapat dihitung oleh penyelidik atau pengidik. Bahkan, menurut dia, kerugian negara juga dapat dihitung oleh Penuntut Umum yang didukung oleh alat bukti yang kuat serta hakim memperoleh keyakinan. Selain itu, ia mengatakan, perhitungan awal kerugian negara juga dapat berubahada tingkat penyidikan seiring dengan bertambahnya alat bukti atau data yang diperoleh pada tingkat penyidikan.

"Misalkan dari tahun sekian ke tahun sekian itu kan macem-macem prosesnya tadi, apa ada pemondokan, catering dan lain-lain. Nah, semaksimal mungkin apa KPK dapat mengambil seluruh proses itu, membuktikan seluruh proses penyelenggaraan ibadah haji. Kalau ternyata dari indikasi KPK bisa menyatakan bisa lebih di atas itu atau bukti yang ditemukan tidak sampai segiu karena waktunya sudah lewat, bisa di bawah itu," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Yusril Bakal Mundur dari Ketum PBB demi Regenerasi

Nasional
Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Hendak Mundur dari Ketum PBB, Yusril Disebut Ingin Ada di Luar Partai

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

[POPULER NASIONAL] Anies Dikritik karena Ingin Rehat | Revisi UU Kementerian Negara Disetujui, RUU Perampasan Aset Hilang

Nasional
Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Veteran Perang Jadi Jemaah Haji Tertua, Berangkat di Usia 110 Tahun

Nasional
Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Salim Said Meninggal Dunia, PWI: Indonesia Kehilangan Tokoh Pers Besar

Nasional
Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri 'Drone AI' Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Indonesia Perlu Kembangkan Sendiri "Drone AI" Militer Untuk Cegah Kebocoran Data

Nasional
Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Tokoh Pers Salim Said Meninggal Dunia

Nasional
Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Sekjen PBB: Yusril Akan Mundur dari Ketum, Dua Nama Penggantinya Mengerucut

Nasional
Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Sekjen DPR Gugat Praperadilan KPK ke PN Jaksel

Nasional
Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Gaduh Kenaikan UKT, Pengamat: Jangan Sampai Problemnya di Pemerintah Dialihkan ke Kampus

Nasional
15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, 'Prof Drone UI' Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

15 Tahun Meneliti Drone AI Militer, "Prof Drone UI" Mengaku Belum Ada Kerja Sama dengan TNI

Nasional
Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan 'Hardware'

Pengembangan Drone AI Militer Indonesia Terkendala Ketersediaan "Hardware"

Nasional
Indonesia Harus Kembangkan 'Drone AI' Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Indonesia Harus Kembangkan "Drone AI" Sendiri untuk TNI Agar Tak Bergantung ke Negara Lain

Nasional
Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Tak Kunjung Tegaskan Diri Jadi Oposisi, PDI-P Dinilai Sedang Tunggu Hubungan Jokowi dan Prabowo Renggang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com