Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita 3 Lelaki dan ”Revolusi Mental” ala Negeri Ginseng

Kompas.com - 23/09/2014, 10:17 WIB
Budi Suwarna,
Hamzirwan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Jika tidak jadi manusia yang unggul, kami akan mati. Itulah prinsip yang dipegang bangsa Korea Selatan yang miskin sumber daya alam dan secara geopolitik dikepung empat kekuatan besar: Tiongkok, Rusia, Korea Utara, dan Jepang.

Tiga laki-laki itu memiliki jalan hidup berbeda. Namun, boleh jadi mereka dibentuk dengan doktrin dan pola pendidikan yang sama oleh generasi di atasnya yang merasakan pedihnya perang dan kemiskinan.

Louis Go (39), pengusaha bidang hiburan, menceritakan, ia dididik dengan kisah tentang bangsa Korea yang sejak dulu lebih baik daripada Jepang dan Tiongkok. ”Kerajaan-kerajaan Korea pernah ekspansi hingga daratan Tiongkok dan Jepang,” ujar Go mengulang kisah yang sejak kecil dituturkan orangtuanya.

Soal penjajahan Jepang atas Korea pada awal abad ke-20, ayah Go berpendapat, ”Kami hanya kalah cepat dari Jepang. Akan tetapi, Korea tetap lebih baik daripada Jepang.”

Ketika Go mulai sekolah pada 1982, ia ingat setiap minggu gurunya memeriksa semua tas murid. ”Kalau guru menemukan pensil atau pulpen buatan Tiongkok atau Jepang, ia akan menegur. Guru lalu mengingatkan semua murid agar menggunakan produk lokal,” tambah Go, akhir Agustus lalu, di sebuah restoran Korea di Jalan Wolter Monginsidi, Jakarta.

Saat itu, Go sebenarnya punya pensil buatan Jepang yang kualitasnya bagus dibandingkan dengan pensil Korea. Namun, ia tak pernah berani memakainya, apalagi membawanya ke sekolah. ”Rasanya malu sekali kalau sampai ketahuan punya produk Jepang atau Tiongkok. Sebab, Jepang dulu pernah menjajah kami dan Tiongkok negara komunis yang membuat kami perang saudara,” ucapnya.

Di lingkungan tempat tinggalnya di Seoul, setiap pagi dan sore, Go mendengar lagu-lagu bernada patriotik yang mengalun dari pelantang suara yang dipasang di sejumlah tiang di setiap RT/RW. ”Kalau lagu sudah dibunyikan, orang yang sedang berjalan pun berhenti. Kalau tidak, rasanya malu. Tahun 1990-an, itu hilang,” tambah Go.

Setelah tumbuh dewasa, Go baru mengerti bahwa kisah tentang kejayaan Korea yang dituturkan orangtuanya, ”operasi” tas setiap minggu di sekolahnya dan lagu-lagu patriot yang diperdengarkan dua kali sehari—seperti jadwal minum obat—di lingkungannya, adalah cara generasi tua Korea menanamkan sikap patriot dan rasa bangga pada negara. ”Makanya, sekarang kami ’pede’ berhadapan dengan Jepang,” ujarnya.

Lee Kang-hyun, Presiden Korean Chamber of Commerce in Indonesia, punya cerita berbeda. Ayahnya yang seorang politikus dipenjara karena bersikap kritis, sementara ibunya meninggal saat ia duduk di kelas 3 SD. Maka, keadaan menuntutnya hidup mandiri. ”Saya tidak boleh kelihatan sedih atau susah karena lingkungan menuntut semua orang memperlihatkan keteguhannya. Saya bekerja keras dan bersaing untuk mengejar cita-cita,” tutur Lee.

Karakter Lee sebagian juga dibentuk saat ia mengikuti wajib militer. Dari situ ia tahu, ada empat prioritas buat orang Korea yang mesti dibela, yakni pertama, negara; kedua, perusahaan; ketiga keluarga; terakhir, diri sendiri. ”Mungkin sekarang sedikit bergeser. Namun, orang Korea tetap bersedia mati untuk negara,” katanya, akhir Agustus.

Park Sang-il (60), profesor di Seoul National University of Science and Technology, juga produk pendidikan generasi yang terlibat dalam perang. Ketika ia sekolah di SMA awal 1970-an, bangsa Korsel sedang membangun diri jadi negara industri. ”Hampir semua anak muda ingin jadi insinyur ketika itu,” ujarnya.

Park termasuk di antaranya. Maka, selepas SMA, ia kuliah di jurusan elektronika di Yonsei University. Tahun 1980-an, ia sadar, industri masa depan ada di bidang semikonduktor. Ia lantas mengejar cita-cita menjadi ahli semikonduktor ke AS hingga jenjang doktor. Sepulang dari AS, ia menjadi bagian kisah sukses Samsung Electronics.

Kini, sebagai profesor, ia menyiapkan insinyur-insinyur baru dari generasi yang tumbuh bersama K-Pop. Awal September, kami bertandang ke ruang kerjanya yang sarat kertas kerja dan panel elektronik hasil eksperimennya. Ia mengenalkan kepada kami empat mahasiswanya yang akan dikirim magang kerja di perusahaan-perusahaan Korsel di luar negeri.

Salah seorang di antaranya perempuan dengan rambut dicat coklat dan diikat karet warna-warni. Kausnya tanpa lengan dengan dahi diberi penghias. Ia mirip penyanyi hip hop Korea ketimbang calon insinyur.

”Generasi saya bisa seperti sekarang karena disiplin, tidak mau kalah, dan bekerja ekstra keras untuk memenangi persaingan. Nilai-nilai itu masih dipegang anak muda sekarang. Mereka bahkan lebih pintar. Yang saya tidak mengerti adalah mengapa generasi muda sekarang suka K-Pop, ha-ha-ha,” ujarnya sambil memperlihatkan video mahasiswanya yang bergaya seperti artis K-Pop.


Catatan:
Tulisan ini merupakan bagian pertama dari dua bagian tulisan, yang semula merupakan satu tulisan utuh dari Harian Kompas edisi Senin (22/9/2014) berjudul "Revolusi Mental" ala Negeri Ginseng, karya Budi Suwarna dan Hamzirwan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pertamina Luncurkan 'Gerbang Biru Ciliwung' untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Pertamina Luncurkan "Gerbang Biru Ciliwung" untuk Kembangkan Ekosistem Sungai

Nasional
Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Kriminolog Nilai Penjudi Online Mesti Dipandang sebagai Pelaku Pidana

Nasional
Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Harun Masiku Nyaris Diringkus di 2021, tapi Gagal Akibat KPK Ribut Internal

Nasional
Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Satgas Pangan Polri Awasi Impor Gula yang Masuk ke Tanjung Priok Jelang Idul Adha 2024

Nasional
Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan 'Bargain'

Eks Penyidik KPK Curiga Harun Masiku Tak Akan Ditangkap, Cuma Jadi Bahan "Bargain"

Nasional
Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Sosiolog: Penjudi Online Bisa Disebut Korban, tapi Tak Perlu Diberi Bansos

Nasional
KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

KPK Hampir Tangkap Harun Masiku yang Nyamar Jadi Guru di Luar Negeri, tapi Gagal karena TWK

Nasional
Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Minta Kemenag Antisipasi Masalah Saat Puncak Haji, Timwas Haji DPR: Pekerjaan Kita Belum Selesai

Nasional
Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Timwas Haji DPR RI Minta Kemenag Pastikan Ketersediaan Air dan Prioritaskan Lansia Selama Puncak Haji

Nasional
Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Timwas Haji DPR Minta Oknum Travel Haji yang Rugikan Jemaah Diberi Sanksi Tegas

Nasional
Kontroversi Usulan Bansos untuk 'Korban' Judi Online

Kontroversi Usulan Bansos untuk "Korban" Judi Online

Nasional
Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Tenda Haji Jemaah Indonesia di Arafah Sempit, Kemenag Diminta Beri Penjelasan

Nasional
MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

MUI Minta Satgas Judi Online Bertindak Tanpa Pandang Bulu

Nasional
Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Tolak Wacana Penjudi Online Diberi Bansos, MUI: Berjudi Pilihan Hidup Pelaku

Nasional
MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

MUI Keberatan Wacana Penjudi Online Diberi Bansos

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com