"Apalagi di Indonesia ada yang wajibkan rupiah, jual beli tanah lazimnya rupiah," kata Yunus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/8/2014).
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan ini duduk sebagai saksi ahli dalam kasus dugaan korupsi Hamabalang dengan terdakwa mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum. Menurut surat dakwaan, Anas menggunakan uang yang dia kumpulkan bersama mantan Bendahara Umum Partai Demokrat, Muhammad Nazaruddin melalui Grup Permai untuk membeli sejumlah aset.
Salah satu aset yang dibeli Anas menurut surat dakwaan adalah dua bidang lahan di Yogyakarta. Pembayaran lahan tersebut, menurut dakwaan, dilakukan melalui mertua Anas, Attabik Ali dengan mata uang rupiah sekitar Rp 1,57 miliar dan mata uang dollar AS sekitar 1,1 juta dollar, 20 batang emas seberat 100 gram, serta dengan dua bidang lahan.
Menurut Yunus, pembelian lahan dengan uang tunai dalam jumlah besar tersebut seharusnya dilaporkan kepada pihak berwenang karena nilai transaksinya di atas Rp 500 juta. Pembelian aset miliaran rupiah ini, kata Yunus, bisa tergolong transaksi mencurigakan jika tidak sesuai dengan profil pembeli. Yunus mengatakan, transaksi mencurigakan tersebut nantinya bisa menjadi petunjuk bagi penuntut umum untuk mencari alat bukti mengenai indikasi tindak pidana pencucian uang.
"Bahkan hasil analisis PPATK bukan alat bukti, hanya menjadi petunjuk saja," ucap Yunus.
Selain menerima gratifikasi, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum didakwa melakukan tindak pidana pencucian uang dalam kapasitasnya sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2009-2014. Nilai pencucian uang yang dilakukan Anas, menurut KPK, sekitar Rp 23,8 miliar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.