JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan sela menunda berlakunya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan putusan tersebut, MK dapat mengatur pimpinan DPR dan MPR sementara hingga putusan final.
Mantan hakim konstitusi, Harjono, Rabu (27/8/2014), mengatakan, pimpinan sementara itu bisa terdiri dari anggota DPR yang paling muda dan paling tua dari sisi usia. ”Kalau nanti MK mengabulkan uji materinya, berarti pimpinan DPR harus dipimpin oleh partai pemenang pemilu legislatif. Nah, kalau sudah dipilih, kan, nanti justru jadi masalah lagi (jika putusan MK-nya mengabulkan uji materi),” ujarnya.
Oleh karena itu, pemberlakuan UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) itu sebaiknya ditunda lebih dulu. ”Pembuatannya dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga digugat banyak pihak. Itu, artinya, (UU MD3) memang banyak masalah,” kata Harjono.
Sejauh ini, MK menerima lima permohonan uji materi yang mempersoalkan substansi UU No 17/2014 terebut. Permohonan itu antara lain dari PDI-P, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pegiat perempuan seperti Khofifah Indar Parawansa dan Rieke Diah Pitaloka, serta Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi. Gugatan lainnya dilayangkan Supriyadi Widodo Eddyono dan Perkumpulan Masyarakat Pembaruan Peradilan Pidana, serta Febi Yonesta dan Rizal.
MK dijadwalkan mulai menggelar sidang perdana pada Kamis (28/8) siang ini dengan agenda pemeriksaan pendahuluan.
Jangan andalkan MK
Secara terpisah, Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang berharap PDI-P tidak hanya mengandalkan MK untuk mendapatkan kursi pimpinan di DPR. Serangkaian lobi politik juga perlu diperkuat oleh pimpinan partai karena waktu hanya satu setengah bulan lagi sebelum penetapan pimpinan DPR. Alasannya, belum tentu MK mengabulkan uji materi yang diajukan PDI-P. ”Jadi, harus ada alternatif lain,” katanya.
Menurut Sebastian, dapat terjadi persilangan kepentingan dan dukungan untuk menempati posisi akibat dorongan kepentingan politik jangka pendek. ”Semua itu bergantung kelihaian PDI-P meyakinkan partai dan fraksi lainnya,” katanya.
Sebastian memberikan contoh, PDI-P dapat saja menjanjikan partai tertentu, seperti Partai Golkar, untuk menduduki kursi tertentu. Selama ini, lobi-lobi politik yang dilakukan elite PDI-P dinilai tidak terlihat efektivitasnya.
”Ini berbahaya. Sebab, tanpa lobi mungkin saja putusan MK-nya tidak menguntungkan PDI-P, maka dapat terjadi tidak satu pun kursi pimpinan DPR dan alat kelengkapan DPR lainnya diisi orang PDI-P dan koalisi pendukung presiden dan wakil presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla,” ujar Sebastian.
Mantan Ketua Panitia Khusus (Pansus) UU MD3 Benny K Harman mengatakan, karena usulan pimpinan DPR didasarkan pada sistem paket, PDI-P dan partai koalisinya terancam tak dapat mengusulkan pimpinan DPR.
Wakil Ketua Pansus Tata Tertib (Tatib) DPR Fahri Hamzah mengatakan, peluang PDI-P meraih kursi ketua DPR semakin sempit. Setelah tertuang dalam UU No 17/2014 tentang MD3, sistem paket untuk memilih pimpinan di DPR akan diperkuat Tatib yang dibahas Pansus Tatib DPR. (RYO/NTA/ANA)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.