Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

MK Diyakini Akan Tolak Gugatan "Suntik Mati" Ryan

Kompas.com - 05/08/2014, 16:39 WIB


DEPOK, KOMPAS.com —
Kriminolog dari Universitas Indonesia (UI) Kisnu Widagso mengaku sangat ragu Mahkamah Konstitusi (MK) akan menerima uji materiil yang diajukan Ignatius Ryan Tumiwa, yang ingin menghapus Pasal 344 KUHP dengan alasan agar permintaan bunuh diri diizinkan oleh negara.

Kisnu mengatakan, jika MK memenuhi gugatan Ryan, maka banyak kelompok masyarakat yang perasaan moralnya tersakiti.

"Bahkan sebagian besar kelompok masyarakat akan tersakiti perasaan moralnya. Sebab ini sangat terkait erat dengan moralitas masyarakat kita," kata Kisnu seperti dikutip Tribunnews.com, Selasa (5/8/2014).

Menurut Kisnu, masyarakat Indonesia masih kental dengan nilai budaya, adat, dan agama sehingga pasti akan menolak jika bunuh diri dilegalkan oleh Pemerintah Indonesia.

"Sebab suku mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Lalu agama mana di Indonesia yang membolehkan bunuh diri? Hampir tidak ada kan," kata Kisnu.

Selain itu, Kisnu menilai uji materiil yang diajukan Ryan kurang tepat karena gugatan ke MK haruslah gugatan yang dirasakan sangat mendasar dan dianggap tidak memenuhi hak dan kewajiban masyarakat luas.

Ia mengatakan, jika memang Ryan menggugat Pasal 344 KUHP ke MK, berarti Ryan merasa bahwa pasal itu bertentangan dengan konstitusi atau UUD 1945 yang berlaku di Indonesia.

Pasal tersebut berbunyi "Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun."

"Lalu esensi apa dari konstitusi kita yang dianggap penggugat bertentangan dengan pasal itu? Saya merasa maksud penggugat pasal itu bertentangan dengan hak hidup dalam konstitusi yang dimaknainya sebagai hak mati juga," paparnya.

Jika pasal itu dianggap tidak memenuhi hak mati seseorang, tambah Kisnu, belum tentu dianggap bertentangan dengan konstitusi atau bertentangan dengan hak hidup seseorang.

"Esensinya siapakah yang memiliki hak hidup dan hak mati atas setiap orang? Sebenarnya hanya Tuhan. Karenanya di beberapa negara maju, dilegalkannya bunuh diri atau permintaan mati ini, karena terkait dengan sistem lainnya, misalnya asuransi atau sistem lain," paparnya.

Kisnu menambahkan, pemenuhan hak mati seseorang oleh negara atau dilegalkannya hal itu harus melalui proses serta prosedur yang panjang, agar benar-benar berguna serta dirasakan masyarakat banyak.

"Jadi harus ada kajian dan proses panjang dulu soal ini. Sebab di negara maju sekalipun serta di negara kita, hal ini selalu debatebel," kata Kisnu.(Budi Sam Law Malau)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Tak Cemas Lawan Kandidat Lain pada Pilkada Jatim, Khofifah: Kenapa Khawatir?

Nasional
Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Khofifah Tolak Tawaran Jadi Menteri Kabinet Prabowo-Gibran, Pilih Maju Pilkada Jatim

Nasional
Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Soal Duetnya pada Pilkada Jatim, Khofifah: Saya Nyaman dan Produktif dengan Mas Emil

Nasional
Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Pertamina Goes To Campus, Langkah Kolaborasi Pertamina Hadapi Trilema Energi

Nasional
Respons Luhut Soal Orang 'Toxic', Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Respons Luhut Soal Orang "Toxic", Golkar Klaim Menterinya Punya Karya Nyata

Nasional
Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Ditanya Soal Progres Pertemuan Prabowo-Megawati, Gerindra: Keduanya Mengerti Kapan Harus Bertemu

Nasional
Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Gerindra Tangkap Sinyal PKS Ingin Bertemu Prabowo, tapi Perlu Waktu

Nasional
Mencegah 'Presidential Club' Rasa Koalisi Pemerintah

Mencegah "Presidential Club" Rasa Koalisi Pemerintah

Nasional
Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasdem-PKB Gabung Prabowo, Zulhas Singgung Pernah Dicap Murtad dan Pengkhianat

Nasional
Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Pengamat HI Harap Menlu Kabinet Prabowo Paham Geopolitik, Bukan Cuma Ekonomi

Nasional
PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

PDI-P Harap MPR Tak Lantik Prabowo-Gibran, Gerindra: MK Telah Ambil Keputusan

Nasional
Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang 'Toxic' di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Sepakat dengan Luhut, Golkar: Orang "Toxic" di Pemerintahan Bahaya untuk Rakyat

Nasional
Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Warung Madura, Etos Kerja, dan Strategi Adaptasi

Nasional
BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena 'Heatwave' Asia

BMKG: Suhu Panas Mendominasi Cuaca Awal Mei, Tak Terkait Fenomena "Heatwave" Asia

Nasional
Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang 'Online' dari Pinggir Jalan

Momen Unik di Sidang MK: Ribut Selisih Satu Suara, Sidang "Online" dari Pinggir Jalan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com