Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Denny: Boleh Berkali-kali, Mekanisme Pengajuan PK Harus Diperketat

Kompas.com - 07/03/2014, 13:54 WIB
Icha Rastika

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indraya menilai, mekanisme pengajuan Peninjauan Kembali (PK) harus diperketat menyusul putusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan pengajuan PK lebih dari satu kali. Pengetatan mekanisme tersebut dapat dilakukan dengan memperjelas novum atau bukti baru yang merupakan syarat pengajuan PK.

"Tentu saja kemudian mekanisme atau PK-nya itu bisa diulang lagi, diperketatlah, tidak kemudian karena ada kemungkinan PK bisa berkali-kali, menjadi sangat longgar," kata Denny di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (8/3/2014).

Menurut Denny, pengetatan pengajuan PK diperlukan agar tidak ada celah yang dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk menimbulkan ketidakpastian hukum.

"Yah, novumnya harus jelas lah, novum itu alat bukti baru kan kalau pemeriksaan pertama buktinya belum jelas, ya sudah," sambung Denny.

Dia juga menegaskan, putusan MK bersifat final yang harus dihormati semua pihak. Jika ada pro-kontra, katanya, cukup dijadikan kajian akademik. Menurut Denny, bagaimanapun juga putusan MK merupakan bagian dari aturan dasar yang diturunkan dari Undang-Undang Dasar 1945.

"Karena mereka (MK) punya kewenangan untuk itu, jadi putusan itu harus menjadi acuan dan tidak bisa keluar dari sana," pungkas Denny.

Mahkamah Konstitusi membatalkan Pasal 268 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang mengatur peninjauan kembali hanya sekali. Dengan putusan MK itu, pengajuan PK bisa berkali-kali.

Putusan tersebut atas permohonan mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty, dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (istri dan anak Antasari). Antasari mendalilkan pembatasan pengajuan PK menghalangi dirinya untuk memperjuangkan hak keadilan di depan hukum yang dijamin Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Antasari bersyukur atas putusan itu.

Dalam pertimbangannya, Hakim Konstitusi Anwar Usman mengatakan, proses peradilan harus sampai pada kebenaran materiil, suatu kebenaran tanpa keraguan. Dari prinsip itu, lahirlah prinsip ”lebih baik membebaskan orang bersalah daripada menjatuhkan pidana kepada seseorang yang tidak bersalah”.

Kebenaran materiil, lanjut Anwar, mengandung semangat keadilan. Keadilan merupakan hak konstitusional atau HAM bagi seseorang yang dijatuhi pidana. Keadilan tidak dapat dibatasi waktu atau ketentuan formal yang membatasi bahwa upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan sekali seperti diatur di dalam Pasal 268 Ayat (3) KUHAP. Hal itu karena mungkin saja setelah diajukan PK dan diputus, ada bukti baru (novum) yang substansial, yang saat PK diajukan belum ditemukan.

MK juga mengutip asas litis finiri oportet bahwa setiap perkara harus ada akhirnya. Hal itu berkaitan dengan kepastian hukum. Namun, menurut MK, asas tersebut tidak harus diterapkan secara kaku. Dengan hanya boleh mengajukan PK sekali, padahal ditemukan adanya keadaan baru (novum), ketentuan tersebut bertentangan dengan asas keadilan yang dijunjung tinggi kekuasaan kehakiman Indonesia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com