Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Refly: Perppu MK Ditolak, Akan Terjadi Menolong Konco-konco

Kompas.com - 19/10/2013, 13:41 WIB
Icha Rastika

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Pengamat hukum tata negara, Refly Harun, yang juga mantan staf ahli Mahkamah Konstitusi, menilai bahwa secara substansi Peraturan Perintah Pengganti Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (Perppu MK) yang ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dua hari lalu dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada MK. Menurutnya, jika Perppu ini ditolak DPR, maka praktik kongkalingkong dalam penanganan perkara di MK akan sulit ditekan.

"Kalau ditolak, ke depan akan ada rekrutmen dua hakim konstitusi pengganti AM (Akil Mochtar) dan Harjono. Kalau belum ada perppu ini, akan terjadi MKK atau menolong konco-konco," kata Refly dalam diskusi bertajuk "Ada Ragu di Balik Perppu” di Jakarta, Sabtu (19/10/2013).

Refly yang dimintai pendapat oleh Pemerintah dalam menyusun Perppu ini menilai tidak ada yang salah dengan tiga substansi perppu itu. Perppu itu mengatur tambahan syarat menjadi hakim konstitusi, mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi, serta perbaikan sistem pengawasan hakim konstitusi. Untuk syarat menjadi hakim konstitusi, Refly menilai tepat jika dalam perppu, calon hakim konstitusi disyaratkan tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling cepat tujuh tahun.

"Yang pertama, menyatakan bahwa persyaratan hakim konstitusi tidak boleh dari parpol kecuali sudah berhenti tujuh tahun, bagus enggak tuh?" katanya.

Mengenai proses seleksi dan pengajuan calon hakim konstitusi, Refly menilai tidak ada salahnya jika melibatkan panel ahli independen yang dibentuk oleh Komisi Yudisial. Ia berpendapat, pelibatan panel ahli tidak akan membatasi kewenangan Presiden, Mahkamah Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengajukan calon hakim konstitusi.

"Ada uji kapasitas, netralitas, track record, dan lain-lain. Sekarang saya tantang, di mana jeleknya melibatkan panel ahli independen? Hak mengusulkan tetap di DPR, MA, dan Presiden. Panel ahli menguji kepatutan dan kelayakan saja, tapi dia tidak menentukan orang yang itu masuk," kata Refly.

Dia menyatakan, pengawasan hakim yang diatur melalui Perppu MK ini tidak melanggar konstitusi. Perppu tidak melibatkan Komisi Yudisial dalam mengawasi hakim konstitusi. Hakim konstitusi akan diawasi oleh Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang sifatnya independen, bukan oleh KY. Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi terdiri dari orang-orang yang dipilih KY berdasarkan usulan masyarakat, yakni mantan hakim MK, praktisi hukum, akademisi di bidang hukum, dan tokoh masyarakat yang usianya kurang lebih 50 tahun.

"Dengan adanya majelis kehormatan, perilaku menyimpang yang dilakukan hakim seperti itu tidak bisa dilakukan. Selama ini kan jeruk makan jeruk, kita adukan perilaku AM (Akil Mochtar) ke AM sendiri dan dia yang menentukan perlu majelis kehormatan atau tidak," ujar Refly.

Sementara itu, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat, Sarifuddin Suding, mengatakan bahwa yang dipermasalahkan DPR bukan substansi perppu, melainkan soal dasar hukum perppu tersebut. "Cantolan hukumnya di mana? Apakah ini bertentangan dengan UUD atau tidak karena kita di situ konteksnya," kata Suding. DPR akan membahas perppu ini pada November mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

“Presidential Club” Butuh Kedewasaan Para Mantan Presiden

Nasional
Prabowo Dinilai Bisa Bentuk 'Presidential Club', Tantangannya Ada di Megawati

Prabowo Dinilai Bisa Bentuk "Presidential Club", Tantangannya Ada di Megawati

Nasional
Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Bantah Bikin Partai Perubahan, Anies: Tidak Ada Rencana Bikin Ormas, apalagi Partai

Nasional
Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Luhut Minta Prabowo Tak Bawa Orang “Toxic” ke Pemerintahan, Cak Imin: Saya Enggak Paham Maksudnya

Nasional
Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Jawaban Cak Imin soal Dukungan PKB untuk Anies Maju Pilkada

Nasional
[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk 'Presidential Club' | PDI-P Sebut Jokowi Kader 'Mbalelo'

[POPULER NASIONAL] Prabowo Ingin Bentuk "Presidential Club" | PDI-P Sebut Jokowi Kader "Mbalelo"

Nasional
Kualitas Menteri Syahrul...

Kualitas Menteri Syahrul...

Nasional
Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 6 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang 'Toxic' ke Pemerintahan

Prabowo Pertimbangkan Saran Luhut Jangan Bawa Orang "Toxic" ke Pemerintahan

Nasional
Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Berkunjung ke Aceh, Anies Sampaikan Salam dari Pimpinan Koalisi Perubahan

Nasional
Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Komnas KIPI: Kalau Saat Ini Ada Kasus TTS, Bukan karena Vaksin Covid-19

Nasional
Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Jika Diduetkan, Anies-Ahok Diprediksi Bakal Menang Pilkada DKI Jakarta 2024

Nasional
Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Jokowi Perlu Kendaraan Politik Lain Usai Tak Dianggap PDI-P

Nasional
Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Kaesang dan Gibran Dianggap Tak Selamanya Bisa Mengekor Jokowi

Nasional
Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Hasil Rekapitulasi di Papua Berubah-ubah, KPU Minta MK Hadirkan Ahli Noken

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com