JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Indonesia Memanggil (IM) 57+ Institute, M Praswad Nugraha menyebut, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron seharusnya merasa malu hingga mengundurkan diri dari jabatannya.
Ghufron tengah menghadapi sidang etik di Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan penggunaan pengaruh terhadap pejabat Kementerian Pertanian (Kementan).
Praswad dan koleganya yang tercatat sebagai mantan penyidik dan pegawai KPK itu menyesalkan langkah Ghufron menggugat Dewas ke Pengadilan sampai melapor ke Bareskrim Mabes Polri untuk mempertahankan jabatannya,
“Nuruh Ghufron harusnya memiliki rasa malu untuk mengakui kesalahan dan bahkan mengundurkan diri,” kata Praswad dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Senin (21/5/2024).
Baca juga: ICW Dorong Dewas KPK Jatuhkan Sanksi Berat, Perintahkan Nurul Ghufron Mundur dari Wakil Ketua KPK
Praswad mengingatkan, KPK bukan saja lembaga penegak hukum yang menangani kasus korupsi.
Lembaga tersebut juga menjadi simbol dalam menjaga etika dari tindakan-tindakan yang mengarah pada penyalahgunaan jabatan.
Namun, tindakan Ghufron membuat Praswad ragu KPK bisa mendorong para penyelenggara negara mematuhi etika.
“Bagaimana bisa KPK mendorong kepatuhan etika ketika lembaganya masih dipimpin oleh pihak yang bermasalah secara etika,” ujar Praswad.
Ia meminta Dewas KPK tidak ragu dalam menjatuhkan putusan sidang etik terhadap Ghufron yang akan dibacakan hari ini.
Sebab, putusan mereka dilindungi Undang-Undang KPK.
Baca juga: Dewas KPK Tetap Bacakan Putusan Sidang Etik Nurul Ghufron Hari Ini
Proses etik itu juga berbeda dengan persoalan tata usaha negara (TUN) sehingga tidak tepat jika digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Menurut Praswad, gugatan Ghufron di PTUN hanya menyangkut surat pemanggilan yang dilayangkan Dewas KPK untuk menjalani pemeriksaan etik.
Ia memandang, seharusnya sengketa tersebut diajukan ke Ombudsman RI ketimbang PTUN Jakarta karena masih dalam tahap tindakan administratif.
“Nurul Ghufron mendasarkan pada surat pemanggilan sehingga putusan etik berada diluar objek sengketa sehingga seharusnya tetap dapat dibacakan oleh Dewan Pengawas KPK,” tutur Praswad.
Sebelumnya, Ghufron tersandung masalah etik karena menghubungi pejabat Kementan untuk memutasi pegawai berinisial ADM.