Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaum Intelektual Dinilai Tak Punya Keberanian, Justru Jadi Penyokong Kekuasaan Tirani

Kompas.com - 01/05/2024, 06:22 WIB
Rahel Narda Chaterine,
Ihsanuddin

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com – Doktor lulusan Harvard, Sukidi mengatakan, kaum intelektual di Indonesia saat ini kerap tidak memiliki keberanian untuk menyuarkan kebenaran.

Sukidi menyampaikan ini dalam Diskusi dan Peluncuran Buku Karya Lengkap Bung Hatta Jilid 9: Agama, Dasar Negara dan Karakter Bangsa yang digelar LP3ES secara virtual, Selasa (30/4/2024).

"Hari-hari ini keberanian itu tidak dimiliki kaum intelektual dan intelektual justru menjadi penyokong dari kekuasaan yang sangat tirani," kata Sukidi dalam paparannya.

Baca juga: Pemikir Kebangsaan: Indonesia Tengah Berada Dalam Tirani Kekuasaan

Padahal, menurut doktor lulusan Harvard itu, Wakil Presiden Pertama RI, Mohammad Hatta atau Bung Hatta telah mewariskan republik yang demokratis.

Dia menambahkan, warisan Bung Hatta itu pangkalnya adalah pendidikan karakter, mencintai serta percaya pada kebenaran, dan keberanian untuk bersuara tentang kebenaran itu.

"Bung Hatta mengingatkan bahwa pangkal kebenaran adalah mencintai kebenaran dan berani menyuarakan kebenaran tanpa ada rasa takut sedikit pun," ujar dia.

Sukidi menambahkan, Bung Hatta turut menyampaikan pemikiran luar biasa dalam Buku Karya Lengkap Bung Hatta Jilid 9 itu.

Salah satunya ketika Bung Hatta merujuk pada karakter bangsa di Jerman, ketika Nazi masih berkuasa.

Saat itu, para intelektual di Jerman justru menopang ide terkait nazisme yang dinahkodai oleh Hitler.

Menurut dia, hal itu menciptakan skandal besar dalam sejarah intelektual karena praktek nazisme fasisme itu justru ditopang oleh profesor-profesor di universitas.

Baca juga: Kapolda Metro Larang Anggotanya Bawa Senjata Api Saat Amankan Aksi May Day

Berkaca dari situasi di Jerman saat itu, Sukidi pun menyinggung situasi yang belakangan terjadi di Indonesia.

"Itu memberikan paralelisme yang terjadi hari-hari ini, bahwa bagaimana kelahiran seorang tiran yang naik ke tampuk kekuasaan atas nama demokrasi atas nama rakyat, tetapi akhirnya berakhir sebagai sorang tiran populis," ujar Sukidi.

Lebih lanjut, ia menambahkan Indonesia kini juga menghadapi situasi di mana kekuasaan berfokus kepada segelintir orang.

Dia melanjutkan orang-orang itu pun akhirnya menjelma menjadi tiran kekuasaan itu sendiri.

"Tiran populis itu menginjak-injak hukum untuk kepentingan dirinya sendiri dan akhirnya memerintah republik demokratis yang dimimpikan oleh Bung hatta," kata dia.

Selain itu, Sukidi berpandangan kini para intelektual di Tanah Air juga bungkam khususnya etika dan hukum dijadikan senjata politik untuk mempertahankan kekuasaan.

"Uniknya setara dengan apa yang terjadi di Jerman, tirani ini ditopang oleh profesor-profesor di universitas yang tidak berani bersuara ketika etika diinjak-injak, ketika hukum dijadikan political weapon senjata politik untuk menekan pesaing politik, ketika hukum dipakai sebagai satu instrument untuk menahan mereka yang berada di elite kekuasaan agar tunduk pada kekuasaan," ucap Sukidi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 23 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 19 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 18 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Di Sidang SYL, Saksi Akui Ada Pembelian Keris Emas Rp 105 Juta Pakai Anggaran Kementan

Nasional
Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Dede Yusuf Minta Pemerintah Perketat Akses Anak terhadap Gim Daring

Nasional
Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Mesin Pesawat Angkut Jemaah Haji Rusak, Kemenag Minta Garuda Profesional

Nasional
Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Anggota Fraksi PKS Tolak Presiden Bebas Tentukan Jumlah Menteri: Nanti Semaunya Urus Negara

Nasional
Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Usai Operasi di Laut Merah, Kapal Perang Belanda Tromp F-803 Merapat di Jakarta

Nasional
Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Kriteria KRIS, Kemenkes: Maksimal 4 Bed Per Ruang Rawat Inap

Nasional
Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Soroti DPT Pilkada 2024, Bawaslu: Pernah Kejadian Orang Meninggal Bisa Memilih

Nasional
Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Direktorat Kementan Siapkan Rp 30 Juta Tiap Bulan untuk Keperluan SYL

Nasional
Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Setuju Sistem Pemilu Didesain Ulang, Mendagri: Pilpres dan Pileg Dipisah

Nasional
Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Menko Airlangga: Kewajiban Sertifikasi Halal Usaha Menengah dan Besar Tetap Berlaku 17 Oktober

Nasional
Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Serius Transisi Energi, Pertamina Gandeng KNOC dan ExxonMobil Kembangkan CCS

Nasional
Bawaslu Akui Kesulitan Awasi 'Serangan Fajar', Ini Sebabnya

Bawaslu Akui Kesulitan Awasi "Serangan Fajar", Ini Sebabnya

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com