KENAIKAN pangkat Prabowo Subianto menjadi jenderal kehormatan bintang empat oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) memicu kontroversi dalam politik Indonesia dan di antara para pembela hak asasi manusia (HAM) serta keluarga korban.
Pengangkatan Prabowo bertentangan dengan prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas serta menjadi sorotan atas pengabaian sejarah bangsa yang penuh gejolak.
Hal ini menggarisbawahi kerapuhan ingatan kolektif kita dan menunjukkan betapa mudahnya intrik politik masa kini dapat membayangi pelajaran dari masa lalu.
Karier militer Prabowo berakhir pada 1998, ketika ia diberhentikan karena keterlibatannya dalam penculikan dan penghilangan paksa para aktivis menjelang Reformasi.
Pangkat terakhirnya di militer adalah Letnan Jenderal, serta menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad).
Tindakan-tindakan ini bukan hanya sekadar kesalahan dalam penilaian, melainkan merupakan pelanggaran berat terhadap HAM, yang meninggalkan bekas luka tak terhapuskan dalam tatanan masyarakat Indonesia.
Pemberian penghargaan militer tertinggi kepada tokoh seperti Prabowo merupakan penghinaan yang jelas terhadap kemanusiaan, serta pengabaian secara gamblang terhadap prinsip-prinsip keadilan dan akuntabilitas yang mendasari masyarakat demokratis kita.
Pengangkatan Prabowo menjadi jenderal bintang empat melambangkan masalah lebih luas yang melanda bangsa kita: amnesia selektif para pemimpin kita dan timbulnya preseden berbahaya bagi generasi mendatang.
Tindakan revisionisme sejarah ini merupakan tindakan yang merugikan para korban dan keluarga mereka, yang telah lama menantikan keadilan, dan juga rakyat Indonesia yang berhak mendapatkan pemimpin yang menghormati kesucian memori kolektif mereka.
Selain itu, keputusan ini merusak esensi dari gerakan Reformasi yang berusaha membongkar struktur otoriter Orde Baru dan membuka jalan bagi pemerintahan yang lebih demokratis, transparan, dan akuntabel.
Pencalonan Prabowo sangat bertentangan dengan cita-cita tersebut, dan menunjukkan kemunduran terhadap praktik-praktik yang ingin dihapuskan oleh gerakan Reformasi.
Hal ini merupakan pengkhianatan terhadap perjuangan dan pengorbanan rakyat Indonesia yang berjuang untuk masa depan lebih cerah dan adil.
Salah satu bahaya signifikan dari keputusan ini adalah potensi erosi kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya melayani dan melindungi mereka.
Sebagai institusi, militer adalah simbol keamanan dan pertahanan nasional serta kepemimpinannya harus mewujudkan standar etika dan akuntabilitas tertinggi.
Pengangkatan seseorang dengan masa lalu kontroversial ke jabatan tertinggi berisiko merusak kredibilitas militer, lebih jauh lagi kepercayaan publik terhadapnya.