TANGGUNG jawab utama intelektual, kata Avram Noam Chomsky, adalah "to speak the truth and expose the lie". Tugas ini ibarat dua sisi dari satu mata uang. Menjalankan yang satu juga akan mengungkap yang lainnya.
Artinya, menyatakan kebenaran adalah bagian dari mengekspos kebohongan dan ketidakjujuran.
Pernyataan ini sejatinya bisa dijadikan acuan awal dalam memahami gerakan masif dunia kampus dan beberapa komunitas alumni kampus yang ditujukan untuk mengevaluasi perilaku dan tindakan politik penguasa beberapa waktu belakangan.
Dengan kata lain, perkembangan sikap dunia intelektual kampus belakangan adalah bagian dari penyikapan kalangan intelektual kampus atas berbagai kebenaran yang sedang berlangsung di negeri ini pada umumnya, yakni kebenaran terkait berbagai langkah politik penguasa yang dinilai sudah mulai mengabaikan etika politik.
Imbasnya, penguasa tidak saja mendorong dan membantu kandidat yang akan melanjutkan legasinya selama sepuluh tahun terakhir, tapi justru membiarkan, bahkan boleh jadi ikut mendorong anaknya untuk masuk ke dalam biduk baru keberlanjutan tersebut.
Di situlah letak perkara awalnya di mana penguasa sudah tidak malu lagi melakukan "groundbreaking" proyek dinasti politik, yang justru dihindari oleh para pendahulunya.
Walhasil, langkah-langkah proaktif setelah "groundbreaking" tersebut cenderung berlangsung di luar nalar politik demokratis warisan reformasi, karena tercandra sangat kental permainan kekuasaan yang melewati batas-batas wajar yang diperbolehkan di dalam alam demokrasi.
Pergerakannya memang terlihat secara kasat mata masih di dalam ambang batas normatif. Karena itu, penguasa dan "para minions"-nya dengan mudah bisa berlindung di balik justifikasi normatif pula bahwa tak ada aturan tertulis yang dilanggar.
Jika ada, publik dipersilahkan untuk menempuh jalur hukum positif untuk mempersoalkannya.
Nah, pada aras ini dibutuhkan sentuhan intelektual kampus, yakni untuk memberikan justifikasi intelektual atas berbagai kejanggalan politik dan penyerobotan atas etika kekuasaan yang terjadi belakangan ini di Indonesia.
Sentuhan para intelektual kampus tersebut memang sangat dibutuhkan, terutama untuk memberikan landasan rasional intelektual atas kekhawatiran publik belakangan yang mensinyalir adanya permainan kekuasaan yang membahayakan eksistensi demokrasi di negeri ini.
Setelah muncul sikap dari sivitas akademik tersebut, semestinya publik semakin yakin dan semakin berani menyampaikan masukan, kritikan, tanggapan, dan penilaian, atas langkah-langkah politik penguasa, sebagai bagian dari kontrol publik kepada pemerintah di dalam negara demokratis sekaliber Indonesia, jika terdapat permainan kekuasaan yang berbau busuk dan amis.
Dukungan berupa justifikasi intelektual dan moral dari sivitas akademika akan menambah legitimasi rasional atas berbagai kekhawatiran publik selama ini di satu sisi dan akan menjadi tekanan evaluatif kepada kekuasaan di sisi lain.
Jadi alih-alih menuduh dipolitisasi atau bersifat partisan, sejatinya Istana dan jejaring kekuasaan yang mendukungnya semestinya menerima dengan baik masukan dan kritikan dari sivitas akademik tersebut.