Namun sangat disayangkan, suasana kontestasi yang sedang berlangsung menipiskan idealitas relasi intelektual dan penguasa, sebagaimana yang disebutkan tersebut.
Penguasa dan pion-pionnya justru melakukan "serangan balik" kepada gerakan sivitas akademik tersebut, dengan tuduhan yang sebenarnya tidak terkait dengan dunia intelektual kampus.
Mengaitkan gerakan sivitas akademik dengan paslon tertentu tentu kurang tepat, karena sivitas akademik semestinya memang netral dari tarik-menarik kepentingan politik.
Perkara ada isu yang sama, tentu sangat bisa dipahami, mengingat kedua pihak, baik pihak intelektual kampus maupun pihak paslon yang menjadi lawan dari paslon besutan penguasa, sama-sama mencandra persoalan yang sama.
Dengan kata lain, kesamaan isu dan narasi tidak terjadi karena kesamaan posisi politik, tapi terjadi karena kesamaan kepentingan dalam menjaga jalan demokrasi nasional Indonesia agar tidak jatuh ke lubang sama sebagaimana yang pernah terjadi di masa lampau, lalu seketika menghentikan gerak langkah reformasi yang telah lebih 20 tahun dipertahankan dan diperjuangkan bersama-sama.
Namun kesamaan kepentingan tersebut justru dilatari oleh motif dasar yang berbeda. Para paslon yang menjadi lawan tanding paslon besutan penguasa tentu ingin menghadirkan narasi tandingan yang secara politik bertujuan "unseating" penguasa alias menggeser posisi penguasa dari singgasana.
Sementara seruan dari sivitas akademik bermotifkan tanggung jawab intelektual kampus, yakni tanggung jawab intelektual sebagaimana disampaikan oleh Noam Chomsky, yang sempat saya sampaikan di awal tulisan ini.
Apa yang dilakukan oleh sivitas akademik adalah implementasi dari tanggung jawab intelektual, yakni menyampaikan kebenaran kepada publik dan membuka fakta-fakta palsu yang bersembunyi di balik kebenaran-kebenaran artifisial versi penguasa.
Perbedaan inilah yang gagal ditangkap oleh Istana, sehingga reaksi dari penguasa dan para "minion"-nya cenderung sangat politis dengan memosisikan sivitas akademik sepihak dengan para paslon yang menjadi lawan tanding dari paslon besutan Istana. Tentu hal itu sangat disayangkan sekali.
Dengan memberikan reaksi yang sangat politis atas gerakan sivitas akademik, bagaimanapun, sangat mencederai posisi tinggi, bahkan mulia para intelektual kampus yang disandang selama ini.
Karena, penyikapan demikian justru mengaitkan para intelektual kampus dengan kepentingan politik jangka pendek ala aktor-aktor politik di dalam laga pemilihan umum.
Tak pelak, reaksi penguasa malah semakin menjustifikasi kekhawatiran pihak intelektual kampus bahwa kekuasaan memang sedang tidak digunakan secara proporsional sebagaimana mestinya, tapi telah melebar kemana-mana di satu sisi dan menegasikan posisi independen para intelektual kampus di sisi lain.
Artinya, penguasa semakin paranoid dengan perkembangan sosial politik yang ada. Sehingga segala masukan, kritikan, atau pernyataan sikap, dari pihak manapun, termasuk dari sivitas akademik, disamakan dengan pernyataan perlawanan dari oposan politik yang berasal dari partai politik.
Jika pernyataan sikap sivitas akademik dalam menyampaikan kebenaran dan mengutarakan kekhawatiran dianggap sebagai perlawanan yang sedang menentang kebenaran versi penguasa, lalu harus dituduh macam-macam layaknya tuduhan yang diberikan kepada para lawan politik penguasa, maka tidak bisa tidak bahwa saat ini sedang terjadi perebutan narasi kebenaran antara Istana dan sivitas akademik.
Boleh jadi di tataran teknis politik sivitas akademika "kalah" atau dipaksa mengalah sebagaimana sering terjadi selama ini karena memang sivitas akademik bukan pejuang kekuasaan. Namun hal itu tak akan mengubah narasi kebenaran yang sebenarnya.