Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jannus TH Siahaan
Doktor Sosiologi

Doktor Sosiologi dari Universitas Padjadjaran. Pengamat sosial dan kebijakan publik. Peneliti di Indonesian Initiative for Sustainable Mining (IISM). Pernah berprofesi sebagai Wartawan dan bekerja di industri pertambangan.

Sivitas Akademik Vs Kekuasaan

Kompas.com - 07/02/2024, 06:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Namun sangat disayangkan, suasana kontestasi yang sedang berlangsung menipiskan idealitas relasi intelektual dan penguasa, sebagaimana yang disebutkan tersebut.

Penguasa dan pion-pionnya justru melakukan "serangan balik" kepada gerakan sivitas akademik tersebut, dengan tuduhan yang sebenarnya tidak terkait dengan dunia intelektual kampus.

Mengaitkan gerakan sivitas akademik dengan paslon tertentu tentu kurang tepat, karena sivitas akademik semestinya memang netral dari tarik-menarik kepentingan politik.

Perkara ada isu yang sama, tentu sangat bisa dipahami, mengingat kedua pihak, baik pihak intelektual kampus maupun pihak paslon yang menjadi lawan dari paslon besutan penguasa, sama-sama mencandra persoalan yang sama.

Dengan kata lain, kesamaan isu dan narasi tidak terjadi karena kesamaan posisi politik, tapi terjadi karena kesamaan kepentingan dalam menjaga jalan demokrasi nasional Indonesia agar tidak jatuh ke lubang sama sebagaimana yang pernah terjadi di masa lampau, lalu seketika menghentikan gerak langkah reformasi yang telah lebih 20 tahun dipertahankan dan diperjuangkan bersama-sama.

Namun kesamaan kepentingan tersebut justru dilatari oleh motif dasar yang berbeda. Para paslon yang menjadi lawan tanding paslon besutan penguasa tentu ingin menghadirkan narasi tandingan yang secara politik bertujuan "unseating" penguasa alias menggeser posisi penguasa dari singgasana.

Sementara seruan dari sivitas akademik bermotifkan tanggung jawab intelektual kampus, yakni tanggung jawab intelektual sebagaimana disampaikan oleh Noam Chomsky, yang sempat saya sampaikan di awal tulisan ini.

Apa yang dilakukan oleh sivitas akademik adalah implementasi dari tanggung jawab intelektual, yakni menyampaikan kebenaran kepada publik dan membuka fakta-fakta palsu yang bersembunyi di balik kebenaran-kebenaran artifisial versi penguasa.

Perbedaan inilah yang gagal ditangkap oleh Istana, sehingga reaksi dari penguasa dan para "minion"-nya cenderung sangat politis dengan memosisikan sivitas akademik sepihak dengan para paslon yang menjadi lawan tanding dari paslon besutan Istana. Tentu hal itu sangat disayangkan sekali.

Dengan memberikan reaksi yang sangat politis atas gerakan sivitas akademik, bagaimanapun, sangat mencederai posisi tinggi, bahkan mulia para intelektual kampus yang disandang selama ini.

Karena, penyikapan demikian justru mengaitkan para intelektual kampus dengan kepentingan politik jangka pendek ala aktor-aktor politik di dalam laga pemilihan umum.

Tak pelak, reaksi penguasa malah semakin menjustifikasi kekhawatiran pihak intelektual kampus bahwa kekuasaan memang sedang tidak digunakan secara proporsional sebagaimana mestinya, tapi telah melebar kemana-mana di satu sisi dan menegasikan posisi independen para intelektual kampus di sisi lain.

Artinya, penguasa semakin paranoid dengan perkembangan sosial politik yang ada. Sehingga segala masukan, kritikan, atau pernyataan sikap, dari pihak manapun, termasuk dari sivitas akademik, disamakan dengan pernyataan perlawanan dari oposan politik yang berasal dari partai politik.

Jika pernyataan sikap sivitas akademik dalam menyampaikan kebenaran dan mengutarakan kekhawatiran dianggap sebagai perlawanan yang sedang menentang kebenaran versi penguasa, lalu harus dituduh macam-macam layaknya tuduhan yang diberikan kepada para lawan politik penguasa, maka tidak bisa tidak bahwa saat ini sedang terjadi perebutan narasi kebenaran antara Istana dan sivitas akademik.

Boleh jadi di tataran teknis politik sivitas akademika "kalah" atau dipaksa mengalah sebagaimana sering terjadi selama ini karena memang sivitas akademik bukan pejuang kekuasaan. Namun hal itu tak akan mengubah narasi kebenaran yang sebenarnya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

RUU Kementerian Negara Disetujui Jadi Usul Inisiatif DPR, Bakal Segera Dikirim Ke Presiden

Nasional
Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Menolak Diusung pada Pilkada DKI dan Jabar, Dede Yusuf: Bukan Opsi yang Menguntungkan

Nasional
DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

DPR Bakal Panggil Mendikbud Nadiem Buntut Biaya UKT Mahasiswa Meroket sampai 500 Persen

Nasional
Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Pasal dalam UU Kementerian Negara yang Direvisi: Jumlah Menteri hingga Pengertian Wakil Menteri

Nasional
Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Jokowi Disebut Tak Perlu Terlibat di Pemerintahan Mendatang, Beri Kedaulatan Penuh pada Presiden Terpilih

Nasional
Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Kekayaan Miliaran Rupiah Indira Chunda, Anak SYL yang Biaya Kecantikannya Ditanggung Negara

Nasional
LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus 'Justice Collaborator'

LPSK dan Kemenkumham Bakal Sediakan Rutan Khusus "Justice Collaborator"

Nasional
Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Alasan Dirut Pertamina Karen Agustiawan Hadirkan JK sebagai Saksi Meringankan

Nasional
Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Dewas KPK Tolak Ahli yang Dihadirkan Nurul Ghufron karena Dinilai Tidak Relevan

Nasional
Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Mengadu ke DPR gara-gara UKT Naik 500 Persen, Mahasiswa Unsoed: Bagaimana Kita Tidak Marah?

Nasional
Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Soal Revisi UU MK, Hamdan Zoelva: Hakim Konstitusi Jadi Sangat Tergantung Lembaga Pengusulnya

Nasional
Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Cecar Sekjen DPR, KPK Duga Ada Vendor Terima Keuntungan dari Perbuatan Melawan Hukum

Nasional
Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nurul Ghufron Sebut Komunikasi dengan Eks Anak Buah SYL Tak Terkait Kasus Korupsi

Nasional
TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

TNI AL Sebut Sumsel dan Jambi Daerah Rawan Penyelundupan Benih Lobster Keluar Negeri

Nasional
Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Ketua KPK Mengaku Tak Tahu-menahu Masalah Etik Nurul Ghufron dengan Pihak Kementan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com