ADA yang menarik perhatian dari pernyataan Presiden Jokowi terkait kampanye Pemilu.
Saat memberikan keterangan pers di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024), Jokowi menyatakan, “Presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara.” (Kompas.com, 24/1/2024).
Pertanyaan yang menarik untuk dijawab adalah benarkah presiden diperbolehkan ikut kampanye sesuai aturan (hukum) kepemiluan?
Dalam Pasal 7 UUD 1945 disebutkan, “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.”
Ketika memahami makna ketentuan a quo sebenarnya secara tersirat mengandung pengertian bahwa presiden boleh melakukan kampanye.
Pasal 7 UUD 1945 memberikan jaminan presiden boleh menjadi calon presiden (capres) pada periode sesudahnya. Tentu secara mudah dipahami, jika hendak mengajukan diri sebagai capres pada periode berikutnya, maka akan mengampanyekan dirinya agar dapat dipilih kembali.
Tidaklah mungkin, jika ingin dipilih, seorang capres tidak melakukan kampanye dalam Pemilu (Pilpres).
Dengan demikian, secara logis-yuridis, ketentuan Pasal 7 UUD 1945 secara implisit memberi pengertian bahwa Presiden dapat melakukan kampanye untuk dirinya dalam Pemilu (Pilpres) berikutnya.
Lalu, apakah Presiden dapat melakukan kampanye untuk orang (capres) lain?
Dalam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (disebut: UU Pemilu), secara expressis verbis mengatur bolehnya presiden melaksanakan kampanye.
Pasal 299 ayat (1) UU Pemilu menyatakan, “Presiden dan Wakil Presiden mempunyai hak melaksanakan Kampanye.”
Demikian halnya, sesuai ketentuan Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu, presiden tidak termasuk kedalam pihak yang dilarang diikutsertakan dalam kegiatan kampanye Pemilu.
Ini berbeda dengan ketua Mahkamah Agung (MA), ketua Mahkamah Konstitusi (MK), atau ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), misalnya, sebagai pihak yang dilarang diikutsertakan dalam kampanye Pemilu.
Sependek penelusuran penulis, dalam UU Pemilu, pembentuk UU secara umum hendak membedakan antara pejabat negara yang berasal dari Pemilihan Umum (elected officials) dengan pejabat negara yang berdasarkan penunjukkan (appointed officials).
Secara umum, UU Pemilu mengatur larangan terhadap pejabat negara appointed officials untuk terlibat dalam kampanye.