Yang tergolong kategori ini antara lain ketua, wakil ketua, ketua muda, hakim agung pada Mahkamah Agung dan hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung; hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi; ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah; pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural; aparatur sipil negara; anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Pasal 280 ayat (2) UU Pemilu).
Sebaliknya, UU Pemilu memberikan kebolehan bagi pejabat negara elected officials untuk diikutsertakan dalam kampanye.
Kedalam kategori ini, misalnya, presiden, wakil presiden, pejabat negara lainnya yang berstatus sebagai anggota partai politik, menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, wakil wali kota (Pasal 299 ayat (1) dan (2), Pasal 301, Pasal 302, dan Pasal 303 UU Pemilu).
Namun demikian, penulis menemukan adanya inkonsistensi dan perlakuan yang berbeda dalam UU Pemilu di mana kepala desa dan anggota badan permusyawaratan desa dimasukkan kedalam kategori yang dilarang diikutsertakan dalam kampanye (Pasal 280 ayat (2) huruf h dan j UU Pemilu).
Meskipun secara teoritis, jabatan keduanya merupakan jabatan yang berasal dari pemilihan (elected officials).
Kebolehan keikutsertaan presiden dalam kampanye, kendati demikian, merujuk pada Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu, dipersyaratkan harus memenuhi ketentuan: pertama, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatannya, kecuali fasilitas pengamanan bagi pejabat negara sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundangan dan kedua, menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Selain itu, ada kewajiban yang harus dilakukan oleh presiden ketika melakukan kampanye, yaitu memperhatikan keberlangsungan tugas penyelenggaraan negara. Ini diatur dalam Pasal 300 UU Pemilu.
Adanya larangan menggunakan fasilitas negara oleh presiden dalam melaksanakan kampanye Pemilu, selain diatur dalam Pasal Pasal 281 ayat (1) UU Pemilu sebagaimana telah diutarakan, juga dipertegas dalam Pasal 304 ayat (1) UU Pemilu.
Jika dilihat dari pengaturannya, larangan menggunakan fasilitas negara, menurut penulis, dikategorikan sebagai hal yang dilarang dengan serius. Ini karena dipertegas dalam dua pasal dalam UU Pemilu dan dinyatakan secara eksplisit dalam rumusan normanya.
Uraian ini sekaligus telah menjawab persoalan mengenai boleh tidaknya presiden melakukan kampanye dalam Pemilu. Dengan demikian, secara normatif, pernyataan Presiden Jokowi tidak ada yang salah dan sejalan dengan ketentuan UU Pemilu yang berlaku.
Ada hal lain yang menarik didiskusikan terkait bolehnya presiden melakukan kampanye.
Pertama, bagaimana menjamin agar presiden ketika melakukan kampanye tidak menggunakan fasilitas negara.
Kedua, bagaimana agar presiden ketika melakukan kampanye tetap dapat menjamin terselenggaranya Pemilu yang berjalan dengan jujur dan adil (jurdil).
Pertanyaan pertama menjadi penting dicermati, sebab meskipun ada larangan presiden menggunakan fasilitas negara dalam melakukan kampanye –sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) dan Pasal 304 ayat (1) UU Pemilu--, akan tetapi ada pengecualian di mana masih terdapat fasilitas negara yang tetap dapat digunakan oleh presiden.
Yaitu fasilitas negara yang melekat pada jabatannya menyangkut pengamanan, kesehatan, dan protokoler, meskipun diberikan catatan kaki sesuai dengan kondisi lapangan secara profesional dan proporsional (Pasal 305 ayat (1) UU Pemilu).
Sebagaimana kita ketahui, dalam sistem pemerintahan negara Indonesia, presiden disamping sebagai kepala negara juga merupakan kepala pemerintahan.