Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebut Boleh Memihak dan Kampanye, Jokowi Dianggap "Petak Umpet" dengan Aturan

Kompas.com - 25/01/2024, 13:13 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan kontroversial Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menyebut dirinya berhak memihak dan berkampanye dianggap memanfaatkan celah etika yang belum diatur dalam payung hukum.

Menurut pengamat politik Jannus TH Siahaan, pelanggaran etika oleh Jokowi terjadi sejak dia membiarkan dan mendukung anak sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, menjadi salah satu peserta pemilihan presiden (Pilpres) 2024.

Meski sejak Presiden Jokowi sejak beberapa waktu lalu mengimbau supaya pemerintahan pusat sampai daerah bersikap netral, tetapi ternyata sikap dan pernyataan politiknya yang terbaru justru bertentangan.

"Semua pelanggaran etika yang dilakukan Jokowi selama ini terjadi di ranah yang sangat abu-abu. Presiden Jokowi ibaratnya berusaha bermain petak umpet dengan aturan, bermain di ranah yang tidak bisa dituntut secara legal karena tidak tertulis secara jelas," kata Jannus saat dihubungi pada Rabu (25/1/2024).

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden dan Menteri Boleh Kampanye, Ini Kata KPU

"Yang dilanggar Jokowi selama ini adalah nilai-nilai etika konvensional, yang kebanyakan tidak tertulis," sambung Jannus.

Jannus menyampaikan, Jokowi seolah menantang tataran nilai-nilai etika yang tidak tertulis, meski hal itu sudah dianggap lumrah bertentangan dengan moral secara umum.

Di sisi lain, Jannus memaparkan sejumlah tokoh bangsa yang memberikan teladan terkait kepemimpinan politik tingkat nasional.

Dia mencontohkan Mohammad Hatta sebagai salah satu pemimpin nasional yang menjaga etika. Hatta memutuskan pisah jalan dengan Soekarno karena merasa rekan seperjuangannya itu sudah tidak satu visi dalam konteks menjalankan kekuasaan dan pembangunan.

Baca juga: Jokowi Sebut Presiden Boleh Memihak di Pilpres, Hasto: Sudah Diprediksi Lama

"Selain antikorupsi, Hatta juga memahami waktu yang tepat untuk mundur, karena merasa sudah tidak satu visi dengan Bung Karno. Untuk apa bertahan menjadi wakil presiden, jika visi keduanya sudah tidak sama lagi," ujar Jannus.

Jannus juga memaparkan sikap Bacharuddin Jusuf Habibie, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang tidak memaksakan kehendak pribadi buat tetap mempertahankan kekuasaan secara langsung atau melalui perpanjangan tangan pihak lain.


"Gus Dur mundur teratur setelah mengetahui bahwa ia tak lagi didukung oleh elite-elite politik. Habibie pun sama, tak menggunakan kekuasaannya untuk memaksakan kemenangan," ujar Jannus.

"Megawati dan SBY juga sama. Mereka secara fair mundur di waktu yang tepat dan tidak menggunakan kekuasaanya sebagai seorang presiden untuk bertahan di posisi presiden. Bahkan SBY tidak mendorong anaknya untuk berkontestasi, meskipun saat itu ia bisa melakukan itu," papar Jannus.

Baca juga: JK Buka-bukaan soal Politik Terkini, Dapat Tekanan Usai Dukung Anies dan Sebut Jokowi Berubah

Sebelummnya diberitakan, Presiden Jokowi menyampaikan seorang presiden boleh berkampanye dalam Pemilu.

"Hak demokrasi, hak politik setiap orang. Setiap menteri sama saja," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Terminal Selatan Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024).

"Yang penting, presiden itu boleh loh kampanye. Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara. (Jadi) boleh (presiden kampanye)," katanya.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com