DEBAT Capres dan Cawapres menuju Pemilu 2024, menyisakan beberapa fenomena menarik yang teramplifikasi di ruang media sosial.
Salah satu yang menarik dan mencuri perhatian adalah tren “Nangisin Capres” yang cukup viral di platform TikTok.
Secara kontekstual, tren “Nangisin Capres” merupakan reaksi dari para warganet yang sedih dan menangis karena Capres pilihannya mengalami kekalahan dalam debat Pilpres 2024.
Tren tersebut dimanifestasikan dalam bentuk video yang memperlihatkan raut muka sedih dan mata sembab akibat mengeluarkan air mata.
Bahkan, tren ini mendapatkan atensi dari warganet di TikTok yang cukup besar dengan lebih dari jutaan views dan ratusan ribu like dan comment.
Namun, tidak sedikit, di ruang digital lain – seperti X (Twitter) dan Instagram – yang menganggap bahwa tren “Nangisin Capres” cenderung berlebihan dan bersifat kontraproduktif bagi demokrasi maupun politik elektoral.
Atas dasar ini, penulis ingin menganalisis tren “Nangisin Capres” dalam perspektif sosiologi politik untuk dapat melihat kontekstualisasi isu, substansi, dan paradigma pemilih yang didominasi oleh anak muda.
Menilik ke belakang, tren “Nangisin Capres” sudah mulai bermunculan di platform TikTok sejak debat Capres yang ke-1 pada 12 Desember 2023. Dalam debat tersebut, terlihat secara objektif bahwa Capres nomor dua Prabowo Subianto tidak tampil secara maksimal.
Kemudian, tren ini kembali melambung ketika Prabowo dinilai tampil buruk dalam debat Pilpres ke-3 (7/1). Bahkan, dalam debat tersebut, capres nomor satu Anies Baswedan dan Capres nomor tiga Ganjar Pranowo tampak berhasil memojokkan Prabowo dalam berbagai isu maupun topik substansial.
Secara kritis, fenomena ini menggambarkan bagaimana ikatan antara Capres dan konstituennya bukan didasarkan pada basis rasionalitas dan substansi, namun lebih mengarah pada afeksi dan emosional.
Karena hal ini, maka ada perasaan dari pemilih yang akan reaktif apabila Capres pilihannya mengalami keadaan yang problematis. Terutama, keadaan tersebut dilahirkan oleh adanya diferensiasi ide, perspektif, dan paradigma dari Capres lain.
Padahal, jika dilihat secara holistik, perdebatan yang terjadi berorientasi pada kritik gagasan, narasi, maupun program yang dibawa oleh setiap Capres. Jadi, tidak mengarah pada perdebatan irasional yang bersifat personal dan partikularistik.
Walaupun begitu, publik dan konstituen politik dari setiap Capres maupun Cawapres memiliki preferensi yang sangat subjektif dan personal.
Oleh karena itu, tren “Nangisin Capres” adalah implikasi logis dari preferensi politik yang didasarkan pada basis afektif atau perasaan.
Dalam Pemilu 2024, anak muda mendapatkan posisi yang sentral dan eksponensial untuk menentukan peta elektoral. Bahkan, menurut KPU, ada 52 persen pemilih muda yang berusia 17 tahun hingga 40 tahun.