GELOMBANG kedatangan pengungsi Rohingya dari tempat penampungan di Bangladesh semakin banyak memasuki Indonesia, utamanya di Propinsi Aceh.
Etnis minoritas asal Myanmar yang mengalami persekusi di negeri sendiri ini menyabung nyawa melalui laut sekitar dua mingguan untuk dapat mendarat di Aceh.
Setiap tahunnya sejak dekade kedua 2000-an, hampir selalu ada manusia perahu Rohingya yang mendarat di Aceh. Tidak sedikit di antaranya adalah anggota keluarga lengkap, ayah, ibu dan anak termasuk para bayi-bayi cilik.
Tak sedikit juga di antara para penumpang perahu tersebut yang kemudian meninggal di perjalanan. Kondisi perahu tak memenuhi syarat, penumpang terlalu padat, minimnya pasokan makanan dan minuman, sanitasi buruk, dan kondisi alam tak bersahabat sepanjang perjalanan laut.
Sebagian orang menyebutnya sebagai perjalanan ‘bunuh diri' karena tujuan tidak jelas. Lama perjalanan tidak jelas. Fasilitas keselamatan perjalanan tak ada. Kepastian penjemputan dan pendaratan tidak ada. Tiket-pun tidak ada. Apalagi asuransi.
Namun melarikan diri lewat laut, umumnya dari daerah pengungsian Cox’s Baazar di Bangladesh, akhirnya menjadi alternatif bagi pengungsi Rohingya yang tak tahan hidup dalam penderitaan dan tanpa kepastian di Bangladesh.
Dengan jumlah pengungsi Rohingya nyaris satu jiwa di Bangladesh, kondisi pengungsian yang tidak nyaman, ditambah kenyataan bahwa Bangladesh adalah negara berkembang yang over populated (173 juta jiwa) dengan luas hampir sama dengan luas Provinsi Kalimantan Barat.
Penyebab melautnya pengungsi Rohingya selain karena frustrasi dan depresi mendalam di pengungsian adalah karena adanya fasilitasi dan iming-iming dari oknum penyelundup manusia (people smuggler) dan oknum perdagangan manusia (human trafficker) di Myanmar dan Bangladesh yang memiliki jaringan di India, Thailand, Malaysia, dan Thailand.
Jalur pengungsian dan pelarian etnis Rohingya berawal dari Myanmar, lalu ke Bangladesh, kemudian mereka ada yang memilih ke India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Penelitian dari Ovibashi Karmi Unnayan Program, et.al. tahun 2022 menyebutkan bahwa etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh utamanya berasal dari 8 (delapan) daerah di Arakan/ Rakhine State Myanmar antara lain Maungdaw, Sittwe, Mrauk-U, Rathedaung, Buthidaung, Minbya, Kyauktaw, dan Thandwe. Pengungsian dari Arakan/Rakhine State ke Bangladesh (terpusat di daerah Cox’s Bazaar).
Mereka juga ditolak kewarganegaraan Myanmar-nya (stateless) dan dianggap tidak eksis sebagai penduduk Myanmar. Undang-Undang Kewarganegaraan Myanmar 1982 mengeluarkan Rohingya sebagai etnis yang diakui sebagai warga negara Myanmar.
Persekusi sistematis yang dilakukan rezim Myanmar terhadap etnis Rohingya membuat mereka secara bertahap melakukan pengungsian ke Bangladesh.
Perjalanan yang tidak mudah dan tidak murah. Ada oknum-oknum penyelundup manusia dan pedagang manusia yang memfasilitasi mereka.
Memakan waktu berhari-hari hingga bulanan yang kebanyakan ditempuh dengan berjalan kaki. Di dalam perjalanan tersebut tak sedikit para pengungsi mengalami pelecehan seksual, pemerasan, penganiayaan, dan siksaan.
Sesampainya di daerah pengungsian Cox’s Bazaar, duka Rohingya tak selesai. Malah semakin bertambah.
Buruknya kondisi pengungsian, kekerasan antargank, pelecehan seksual, kondisi alam yang kurang bersahabat dan terlalu padatnya lokasi penampungan membuat banyak pengungsi tak betah berlama-lama di sana.
Di sinilah kemudian oknum penyelundup manusia dan pedagang manusia mengambil kesempatan. Mereka memfasilitasi penyelundupan etnis Rohingya ke India, Thailand, Malaysia, dan Indonesia.
Data dari Ovibashi Karmi Unnayan Program, et.al. tahun 2022 mengungkapkan beberapa modus penyelundupan manusia.
Apabila diselundupkan ke India, maka akan dikirim ke Kolkata, Mumbai dan Bihar. Perjalanan memakan waktu satu bulan dan para pengungsi membayar sekitar 50.000 sampai 100.000 Bangladeshi Taka kepada para penyelundup manusia. Dibayar dalam dua term ketika berangkat dan ketika tiba di tujuan.
Di India, pengungsi Rohingya bekerja di industri seks komersial atau sebagai pekerja rumah tangga. Tak jarang mereka mengalami pelecehan seksual dan kekerasan fisik.
Apabila diselundupkan ke Malaysia, perjalanan dapat berlangsung antara satu sampai tiga bulan dengan kapal. Para pengungsi membayar antara 50.000 sampai dengan 250.000 Bangladeshi Taka.
Di Malaysia mereka bekerja di sektor pertanian/perkebunan, konstruksi dan sebagai pekerja rumah tangga.