JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didorong melakukan penyelidikan menyeluruh, dan bukan hanya meredam isu terkait temuan transaksi mencurigakan dana kampanye yang diungkap Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Menurut Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati, para lembaga penyelenggara Pemilu dan aparat penegak hukum sebaiknya berupaya lebih keras menyelidiki temuan PPATK tersebut.
Sebab dia mengatakan, sanksi terkait tindakan ilegal seperti itu sudah tercantum di dalam Undang-Undang Pemilu.
"Mendorong KPU dan Bawaslu mengusut tuntas kasus transaksi janggal temuan PPATK dengan melibatkan aparat penegakan hukum lainnya dan menyampaikan hasil kajiannya kepada publik dengan transaparan dan akuntabel," kata Neni saat dihubungi pada Senin (18/12/2023).
Baca juga: PPATK Temukan Transaksi Janggal terkait Pemilu, Ganjar: Kalau Sumbernya Haram, Tracing Lebih Gampang
"Harapannya proses kajian tidak dilakukan secara asal-asalan hanya untuk menenangkan publik secara sesaat," sambung Neni.
Neni mengutip aturan yang tercantum dalam Pasal 496 UU 7/2017 terkait prinsip keterbukaan pelaporan dana kampanye.
Di dalam pasal itu disebutkan peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye Pemilu terancam pidana kurungan paling lama 1 tahun dan denda paling banyak Rp 12.000.000.
Neni mengatakan, temuan PPATK yang mendeteksi transaksi mencurigakan terkait dana kampanye memperlihatkan aktivitas Pemilu menyedot anggaran yang jumlahnya sangat fantastis mulai dari pencalonan, kampanye, kemudian jika terjadi sengketa hasil.
Baca juga: Soal Transaksi Janggal Dana Kampanye, TKN Prabowo-Gibran: Periksa Saja, Kami Terbuka
Dia mengkhawatirkan jika praktik seperti itu terulang karena negara tidak memberikan ganjaran secara tegas kepada para pelakunya maka akan sangat sulit menyelenggarakan kontestasi Pemilu yang jujur dan adil.
"Karena transaksi janggal tersebut dapat berpotensi digunakan untuk jual beli suara yang akan merusak demokrasi ke depan dan Pemilu gagal menjadi momentum untuk melahirkan pemimpin bangsa yang berintegritas dan profetik,” sambung Neni.
Sebelumnya diberitakan, Kepala PPATK Ivan Yustiavandana membantah dugaan mereka melakukan pengawasan transaksi keuangan untuk kepentingan politik.
Dia menegaskan, PPATK melakukan pemeriksaan keuangan untuk menghindarkan pelaku kejahatan memanfaatkan momen Pemilu demi keuntungan pribadi atau kelompok.
“Kami hanya melakukan pemantauan terkait potensi pemilu dieksploitasi oleh para pelaku kriminal dengan menggunakan dana-dana ilegal dalam mendukung kontestasi,” papar Ivan saat dihubungi Kompas.com pada Minggu (17/12/2023).
Ivan menyatakan sudah mengirimkan data itu kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan aparat penegak hukum.
Ivan mengatakan pihaknya akan terus mengawasi transaksi yang berkaitan dengan Pemilu. Ia tidak menyebut nama calon legislatif atau partai yang diduga menggunakan dana dari hasil tindak pidana untuk kampanye.