“Barang siapa yang bermain-main dengan kekuasaan, ia akan digilas oleh kekuasaannya sendiri karena tidak ada kekuasaan yang kekal dan abadi” – Chester Barnard.
TEORI Kekuasaan yang dicetuskan Chester Barnard mengingatkan kita semua untuk bisa mengerem hasrat kekuasaan yang terlalu mendominasi.
Polemik Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres yang memberikan karpet merah kepada anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, menjadi bakal calon wakil presiden mengisyaratkan bahwa demokrasi kita semakin mengalami regresi.
Sejatinya dari pemilu ke pemilu penyelenggara negara semakin berkualitas, kompeten, dan berintegritas.
Namun faktanya, hajatan yang digelar setiap lima tahun sekali, hanya melahirkan banyak politisi, tetapi defisit negarawan.
Alhasil, para politisi pemburu kekuasaan memotong linearitas korelasi waktu dan kualitas sehingga terjebak dalam demokrasi liberal yang menghasilkan elite bebal politik (Nashir, 2020).
Korupsi, kolusi dan nepotimse (KKN) semakin tumbuh subur. Keterlibatan para anggota keluarga ramai-ramai.
Mantu sebagai kepala daerah, anak sulung menjadi penerus pemegang kekuasaan sang ayah, anak berikutnya diangkat menjadi ketua umum partai politik tingkat pusat yang baru mendapatkan KTA dua hari dan adik ipar menjadi ketua Mahkamah Konstitusi.
Meskipun nepotisme sudah diatur dalam Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/1998 dan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN, bahkan pelaku nepotisme diancam hukuman dua tahun penjara.
Akan tetapi, di era reformasi dengan sistem pemilihan langsung dan terbuka, praktik dinasti terus berjalan dan mendapatkan ruang untuk bisa melanggengkan kekuasaan.
Nepotisme telah melekat membentuk mentalitas bangsa Indonesia yang sulit diatasi. Di mulut berkata kepada pimpinan redaksi media tidak akan cawe-cawe untuk urusan pemilu 2024 karena komitmennya akan menjunjung tinggi independensi dan netralitas sehingga pemilu bisa berjalan aman dan lancar.
Namun laku dan perbuatan jauh dari nilai-nilai demokrasi. Politik tanpa etika dilakukan. Semua cara menjadi halal asal kawan kalah.
Demi sang anak berkuasa, Mahkamah Konstitusi diseret mumpung sedang diketuai oleh pamannya. Kapan lagi dapat menggunakan momentum ini.
Politik dilakukan secara brutal dengan memanfaatkan hukum sebagai alat politik. Namun dirinya tidak sadar bahwa apa yang dilakukan sedang melakukan pembusukan demokrasi. Nalar kritis dan akal sehat demokrasi secara sengaja dimatikan.
Dalam diskusi di Kompas TV bertajuk “Selamat Datang Dinasti Jokowi”, salah satu narasumber, Sukidi, sang pemikir kebhinekaan menyebut bahwa fenomena ini sebagai politik machiavellian.