PADA 1954, Darrel Huff menulis buku “How to Lie With Statistics”. Dalam buku ini Huff menjelaskan bahwa angka-angka statistik tidak bisa memberikan gambaran utuh terhadap persoalan.
Statistik yang dihasilkan oleh pelbagai survei memiliki daya pukau bagi orang yang terbiasa dengan fakta. Namun, angka statistik merupakan tumpukan sampah omong kosong jika tidak didasarkan pada kejujuran.
Di dalam pendahuluannya, Huff menjelaskan, buku ini merupakan pedoman menggunakan statistik untuk membohongi orang lain.
Angka, data, grafik, dan persentase yang disampaikan dalam data statistik bukanlah perwujudan dari realitas lapangan.
Ringkasnya, buku ini membongkar bagaimana statistik seringkali dipakai untuk mengelabui. Buku lama yang menarik untuk dibaca di tengah sodoran angka-angka survei politik.
Survei merupakan bisnis yang menjanjikan. Dunia modern menuntut kepastian data, angka, dan sesuatu yang bisa diukur. Penelitian yang bersifat kuantitatif mampu memberikan kepastian dengan cara yang cepat.
Kata Yuval Noah Harari, “di dunia yang dibanjiri informasi tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan”. Kejelasan dalam bahasa Harari itu mampu disuguhkan salah satunya dengan metode survei.
Selain kepentingan politik pemenangan, survei sering juga dijadikan patokan untuk pengambil kebijakan. Angka-angka statistik dimaknai mengkonstruksi persoalan dan diejawantahkan dengan metode penyelesaian masalahnya.
Konsep sederhananya, angka statistik yang dimunculkan secara masif akan melahirkan program. Program akan melahirkan proyek dan proyek akan selalu memproduksi para makelar pemburu rente.
Pemburu rente dalam kontestasi politik semakin digemari oleh para kontestan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang mengerti bahwa lembaga-lembaga penjaja angka-angka statistik itu kerap kali membual.
Toh, kenyataannya para politisi yang berkontestasi itupun senang untuk dimanipulasi. Politisi menikmati bualan-bualan dan sanjungan, apalagi dikuatkan dengan angka-angka statistik yang disulap demi pemenuhan hasrat berkuasa.
Mungkin ini yang disebut fetisnya para politisi, senang berbohong dan menikmati pembohongan.
Hasrat berkuasa merupakan insting dasar manusia. Menurut Nietzsche, hasrat yang paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk berkuasa (the will to power).
Hasrat berkuasa itu bermakna netral, bisa baik ataupun buruk tergantung kemana dan bagaimana hasrat berkuasa itu disalurkan serta diperoleh.
Politik merupakan kanalisasi dari hasrat berkuasa. Politik merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan.