Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aidil Aulya
Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Dosen UIN Imam Bonjol Padang

Kebohongan Dalam Kebenaran

Kompas.com - 22/10/2023, 07:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PADA 1954, Darrel Huff menulis buku “How to Lie With Statistics”. Dalam buku ini Huff menjelaskan bahwa angka-angka statistik tidak bisa memberikan gambaran utuh terhadap persoalan.

Statistik yang dihasilkan oleh pelbagai survei memiliki daya pukau bagi orang yang terbiasa dengan fakta. Namun, angka statistik merupakan tumpukan sampah omong kosong jika tidak didasarkan pada kejujuran.

Di dalam pendahuluannya, Huff menjelaskan, buku ini merupakan pedoman menggunakan statistik untuk membohongi orang lain.

Angka, data, grafik, dan persentase yang disampaikan dalam data statistik bukanlah perwujudan dari realitas lapangan.

Ringkasnya, buku ini membongkar bagaimana statistik seringkali dipakai untuk mengelabui. Buku lama yang menarik untuk dibaca di tengah sodoran angka-angka survei politik.

Survei merupakan bisnis yang menjanjikan. Dunia modern menuntut kepastian data, angka, dan sesuatu yang bisa diukur. Penelitian yang bersifat kuantitatif mampu memberikan kepastian dengan cara yang cepat.

Kata Yuval Noah Harari, “di dunia yang dibanjiri informasi tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan”. Kejelasan dalam bahasa Harari itu mampu disuguhkan salah satunya dengan metode survei.

Selain kepentingan politik pemenangan, survei sering juga dijadikan patokan untuk pengambil kebijakan. Angka-angka statistik dimaknai mengkonstruksi persoalan dan diejawantahkan dengan metode penyelesaian masalahnya.

Konsep sederhananya, angka statistik yang dimunculkan secara masif akan melahirkan program. Program akan melahirkan proyek dan proyek akan selalu memproduksi para makelar pemburu rente.

Pemburu rente dalam kontestasi politik semakin digemari oleh para kontestan. Padahal tidak sedikit dari mereka yang mengerti bahwa lembaga-lembaga penjaja angka-angka statistik itu kerap kali membual.

Toh, kenyataannya para politisi yang berkontestasi itupun senang untuk dimanipulasi. Politisi menikmati bualan-bualan dan sanjungan, apalagi dikuatkan dengan angka-angka statistik yang disulap demi pemenuhan hasrat berkuasa.

Mungkin ini yang disebut fetisnya para politisi, senang berbohong dan menikmati pembohongan.

Hasrat berkuasa merupakan insting dasar manusia. Menurut Nietzsche, hasrat yang paling kuat dalam diri manusia adalah keinginan untuk berkuasa (the will to power).

Hasrat berkuasa itu bermakna netral, bisa baik ataupun buruk tergantung kemana dan bagaimana hasrat berkuasa itu disalurkan serta diperoleh.

Politik merupakan kanalisasi dari hasrat berkuasa. Politik merupakan cara untuk mendapatkan kekuasaan.

Banyaknya orang yang ingin berkuasa membuat memuncaknya gairah sekelompok orang untuk menyulap dirinya menjadi lembaga survei ataupun konsultan politik. Ada peluang mengeruk keuntungan dari hasrat kekuasaan orang lain.

Kemampuan retoris dengan balutan teoritis berhasil menyihir para politisi untuk menggunakan jasa mereka.

Semakin tinggi jabatan politis yang diincar, maka akan semakin tinggi juga biaya konsultan dan lembaga survei yang akan dikeluarkan.

Dengan iming-iming akademis, para penjaja angka-angka statistik dan para konsultan politik semakin digemari. Jika teori dan angkanya tidak terbukti di lapangan, itu soal lain. Tinggal ganti bualan dan teori.

Berbohong secara akademis

Kebohongan dalam politik harus dilakukan dengan cara yang benar. Itu landasan moral yang tidak etisnya.

Politik tidak pernah absen dari citra-citra palsu, kata-kata manipulatif, dan absurditas moral. Ambivalensi politik berada pada pemaknaan dibenci tetapi diharapkan.

Dibenci karena perilaku kotor yang dipraktikkan di dalamnya dan diharapkan karena bisa mendatangkan kesejahteraan secara cepat.

Rayuan kesejahteraan yang ditawarkan investor-investor politik menyebabkan orang menggunakan seluruh sumber daya untuk meraih kekuasaan.

Politik acapkali diasosiasikan dengan makna peyoratif. Maurice Klain pada 1955 menulis artikel dengan judul “Politic Still the Dirty Word”.

Pada tahun itu, politik dimaknai sebagai kata-kata yang dimaknai kumuh. Kumuh karena laku lampah kotor para politisi ketika memainkan peran politiknya.

Kata Klain, jika para politisi itu berada di sekeliling kita, lebih baik tutup hidung. Sebegitu pesingnya.

Karakteristik seperti yang dijelaskan Klain sepertinya belum lagi berubah karena politisi akan selalu memilik hasrat untuk berkuasa.

Dorongan berkuasa bertemu dengan kepentingan para intelektual lacur yang menginginkan tetesan kesejahteraan dari politisi. Sehingga mereka ramai-ramai menceburkan diri pada kubangan politik.

Semua ini merupakan akibat dari kerja-kerja intelektual dan akademik tidak terlalu diapresiasi. Akhirnya, hasil kerja akademik diobral dengan harga murah di ruang kontestasi politik.

Apakah politik harus jauh dari intelektualitas? Tidak juga. Politik harus dilandasi dengan ilmu pengetahuan, tetapi keilmuan yang jujur.

Politisi harus berteman dengan para intelektual. Intelektual tidak boleh juga antipati dengan politik. Syaratnya harus tidak memihak pada pemuasan pemesan kepentingan saja. Adil sejak dalam pikiran, kata Pramoedya Ananta Toer.

Terceburnya para intelektual dalam kepentingan politik melalui survei dan iming-iming konsultan politik merupakan jebakan. Jebakan untuk politisi pemakai jasa dan juga kaum intelektual yang menjual jasa.

Para politisi sudah terbiasa berbohong dan para intelektual sudah terbiasa untuk berbohong. Retorikanya melampai (berliuk-liuk) sehingga tidak bisa dibedakan apakah itu bualan atau teori ilmu pengetahuan. Berbohong dengan elegan, berbohong secara akademik.

Konstruksi kebenaran akademik digunakan untuk memanipulasi banyak orang. Tujuannya, membangun citra pemakai jasa untuk mewujudkan hasrat berkuasanya.

Angka-angka survei dan bualan para konsultan yang berkamuflase menjadi pengamat berseliweran untuk membentuk opini publik.

Opini publik dikendalikan oleh para intelektual yang mampu mengotak-atik teori-teori akademik.

Sihir akademik yang memukau menyebabkan masyarakat menjadi seolah-olah rasional dalam mengambil pilihan politik. Rasionalitas masyarakat yang dikonstruksi oleh media merupakan rasionalitas palsu.

Rasionalisasi harus didasarkan pada refleksi mendalam. Politik memang kubangan yang sulit bersih, tetapi dari kubangan itu hajat hidup orang banyak dipertaruhkan. Termasuk hajat hidup para intelektual.

Berbohong secara akademis pun dihalalkan untuk perwujudan kesejahteraan. Bukankah begitu?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pimpin Langsung ‘Tactical Floor Game’ WWF di Bali, Luhut: Pastikan Prajurit dan Komandan Lapangan Paham yang Dilakukan

Pimpin Langsung ‘Tactical Floor Game’ WWF di Bali, Luhut: Pastikan Prajurit dan Komandan Lapangan Paham yang Dilakukan

Nasional
Setara Institute: RUU Penyiaran Berpotensi Perburuk Kebebasan Berekspresi melalui Pemasungan Pers

Setara Institute: RUU Penyiaran Berpotensi Perburuk Kebebasan Berekspresi melalui Pemasungan Pers

Nasional
Masuk Daftar Cagub DKI dari PDI-P, Risma: Belum Tahu, Wong Masih di Kantong...

Masuk Daftar Cagub DKI dari PDI-P, Risma: Belum Tahu, Wong Masih di Kantong...

Nasional
KPK Geledah Lagi Rumah di Makassar Terkait TPPU SYL

KPK Geledah Lagi Rumah di Makassar Terkait TPPU SYL

Nasional
Puan Minta DPR dan IPU Fokus Sukseskan Pertemuan Parlemen pada Forum Air Dunia Ke-10

Puan Minta DPR dan IPU Fokus Sukseskan Pertemuan Parlemen pada Forum Air Dunia Ke-10

Nasional
Yusril: Serahkan kepada Presiden untuk Bentuk Kabinet Tanpa Dibatasi Jumlah Kementeriannya

Yusril: Serahkan kepada Presiden untuk Bentuk Kabinet Tanpa Dibatasi Jumlah Kementeriannya

Nasional
Mensos Risma: Belum Semua Warga di Zona Merah Gunung Marapi Bersedia Direlokasi

Mensos Risma: Belum Semua Warga di Zona Merah Gunung Marapi Bersedia Direlokasi

Nasional
Pengamat Nilai Ahok Sulit Menang jika Maju pada Pilkada, Ini Alasannya

Pengamat Nilai Ahok Sulit Menang jika Maju pada Pilkada, Ini Alasannya

Nasional
Jadi Perantara Kebaikan, Dompet Dhuafa Siap Terima Hibah dari NAMA Foundation untuk Kaum Dhuafa

Jadi Perantara Kebaikan, Dompet Dhuafa Siap Terima Hibah dari NAMA Foundation untuk Kaum Dhuafa

Nasional
Kemenkes: Waspadai MERS-CoV, Jemaah Haji Mesti Hindari Kontak dengan Unta

Kemenkes: Waspadai MERS-CoV, Jemaah Haji Mesti Hindari Kontak dengan Unta

Nasional
Bocorkan Duet Khofifah-Emil pada Pilkada, Airlangga: Semua Akan Positif...

Bocorkan Duet Khofifah-Emil pada Pilkada, Airlangga: Semua Akan Positif...

Nasional
Airlangga Bertemu Khofifah Malam Ini, Bahas soal Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Airlangga Bertemu Khofifah Malam Ini, Bahas soal Emil Dardak pada Pilkada Jatim

Nasional
Prabowo Sebut Punya Gaya Kepemimpinan Sendiri, PDI-P: Kita Berharap Lebih Baik

Prabowo Sebut Punya Gaya Kepemimpinan Sendiri, PDI-P: Kita Berharap Lebih Baik

Nasional
RUU Penyiaran Larang Jurnalisme Investigasi, PDI-P: Akibat Ketakutan yang Berlebihan

RUU Penyiaran Larang Jurnalisme Investigasi, PDI-P: Akibat Ketakutan yang Berlebihan

Nasional
Prabowo Ingin Jadi Diri Sendiri Saat Memerintah, PDI-P: Kita Akan Melihat Nanti

Prabowo Ingin Jadi Diri Sendiri Saat Memerintah, PDI-P: Kita Akan Melihat Nanti

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com