JAKARTA, KOMPAS.com - Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama (NU) 2023 menegaskan bahwa pejabat negara yang memfasilitasi pembangunan rumah ibadah nonmuslim tak dapat dipersalahkan.
Hal ini menjadi salah satu hasil pembahasan di dalam Komisi Bahtsul Masail Maudlu'iyah terkait syarat dan rukun al-i'anah alal ma'shiyah (membantu kemaksiatan).
Para alim dan ulama memutuskan, fasilitasi pembangunan rumah ibadah nonmuslim oleh pejabat negara bukan termasuk hal itu.
NU menekankan peran penting negara terhadap pendirian rumah ibadah nonmuslim sebagai wujud pembangunan negeri dan mewujudkan keadilan.
Baca juga: Jalan Terjal Anies-Cak Imin Usai Deklarasi: Elektabilitas Tertinggal, Hadapi Resistensi PBNU
"Presiden, bupati, wali kota itu pasti akan ikut memfasilitasi pendirian rumah ibadah yang itu menurut Islam bertentangan secara akidah, tetapi dilindungi. Karena negara harus melindungi berbagai elemen di negeri ini," ucap Ketua Panitia Pengarah (steering committee) Munas dan Konferensi Besar NU 2023, Abdul Ghofur Maimoen, pada Selasa (19/9/2023).
Ia menjelaskan, saat ini semua manusia hidup di dalam negara-bangsa, sehingga umat Islam tak bisa hidup secara eksklusif, melainkan harus mampu hidup secara berdampingan.
Konsekuensi logis dari situ, para penganut agama yang beragam memiliki hak yang sama untuk mendirikan rumah ibadah. Hal itu menjadi sebuah keniscayaan sehingga pejabat negara perlu melindunginya.
"Kaitannya dengan hal-hal yang menurut agama Islam tidak diperbolehkan tapi itu hal yang sifatnya seringkali niscaya dalam kehidupan berbangsa, misalnya presiden/bupati atau siapa pun penguasa pasti akan ikut memfasilitasi pendirian rumah-rumah ibadah yang menurut agama Islam bertentangan secara akidah," ujar Ghofur.
Jaminan pemerintah untuk memfasilitasi secara setara pembangunan rumah ibadah bagi semua agama penting untuk terus didorong, sebab pemerintah saat ini masih berkukuh mempertahankan Peraturan Bersama (PB) 2 menteri, yaitu Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.
Peraturan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dan Menteri Agama (Menag) sering menjadi batu sandungan penganut agama minoritas, karena pembangunan rumah ibadah memerlukan dukungan tertulis masyarakat setempat.
Beleid ini dianggap menunjukkan wajah tirani mayoritas dalam pembangunan rumah ibadah, padahal pemerintah seharusnya dapat memberikan izin pembangunan tanpa perlu melihat dukungan kelompok mayoritas.
Baca juga: Ketum PBNU Minta Aktor Politik Tak Manuver untuk Menakut-nakuti Jelang Pemilu 2024
Pasalnya, pembangunan rumah ibadah ini bukan soal akidah agama masing-masing pribadi, tetapi soal hak warga negara.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri Suhajar Diantoro berdalih bahwa beleid semacam itu diperlukan demi menciptakan "ketertiban" masyarakat.
"Jadi nanti kalau kita mengevaluasi sebuah regulasi, harus berbasis penciptaan ketertiban. Begitu. Hari ini kita belum sampai pada kesimpulan itu. Ya (pertahankan), itu yang kita tetap laksanakan," ujar Suhajar saat ditemui di Hotel Novotel, Tangerang, Selasa (28/2/2023).
Padahal, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa kebebasan berkeyakinan dijamin Pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Konstitusi, kata Jokowi, tidak boleh kalah oleh sebuah kesepakatan.
"Konstitusi tidak boleh kalah dengan kesepakatan. Dalam rapat FKUB misalnya, sepakat tidak memperbolehkan membangun tempat ibadah. Hati-hati loh, konstitusi kita, hati-hati, menjamin itu," kata Jokowi saat menghadiri Rapat Koordinasi Nasional di Sentul International Convention Center (SICC), Bogor, Selasa (17/1/2023).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.