MENURUT Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), intelektual adalah seorang atau pribadi yang cendekiawan, cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan serta mempunyai totalitas pengertian atau kesadaran, terutama yang menyangkut pemikiran dan pemahaman.
Antonio Gramsci (1978) membagi intelektual dalam empat tipe. Pertama, intelektual tradisional, yakni mereka yang fungsinya melanjutkan tugas/pekerjaan yang sama dari generasi ke generasi.
Termasuk kelompok pertama adalah guru, pendeta/agamawan, dan administrator.
Kedua, intelektual organik, yakni mereka yang fungsinya berkaitan secara langsung dengan kelas-kelas atau perusahaan-perusahaan (enterprises) yang menggunakan jasa intelektualnya untuk mengatur kepentingan, mendapatkan lebih banyak kekuasaan dan kendali, serta mampu menciptakan perubahan.
Termasuk kelompok kedua adalah para kapitalis, industriawan/pengusaha, spesialis (akademisi, ekonom, hakim, wartawan, editor, dll.).
Ketiga, intelektual kritis, yakni mereka yang melepaskan diri dari hegemoni kekuasaan dan menyediakan Pendidikan alternatif yang memerdekaan.
Julien Benda menyebut tipe ini sebagai intelektual “klerikal” (clerics), yaitu mereka yang menjunjung tinggi standar kebenaran dan keadilan abadi yang justru bukan dari dunia ini.
Merekalah intelektual sejati yang tidak tertarik untuk mencari keuntungan duniawi (politik, ekonomi, dll.) atau mengejar tujuan-tujuan praktis atau kesenangan.
Jesus, Socrates, Spinoza, Voltaire, dan Ernest Renan adalah beberapa contoh intelektual sejati (klerikal).
Keempat, intelektual universal, yakni mereka yang selalu memperjuangkan peradaban dan struktur budaya yang lebih maju dalam rangka penghormatan atas harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Seorang intelektual atau cendekiawan, kata Julien Benda, adalah sosok yang dianugerahi bakat dan moral untuk membentuk hati-nurani umat manusia.
Mereka bukanlah pemikir yang hanya berdiam diri di menara-gading (ivory-towered thinkers), melainkan bergerak dan berjuang dengan hasrat metafisik dan prinsip keadilan serta kebenaran tanpa pamrih mencela segala bentuk penyimpangan, membela yang lemah, dan menentang kekuasaan otoriter dan menindas.
Di dunia akademik, intelektual adalah pemegang otoritas sah tradisi agung dunia akademik "yang berumah di angin", kata W.S. Rendra.
Atau seperti kata Edward Said, mereka adalah sosok yang bebas, independen, dan tak berada dalam sistem kekuasaan.
Mereka, kata Ali Syariati, seorang sosiolog asal Iran, adalah "rauzan fikr", manusia yang tercerahkan, sosok yang berpijak hanya pada kebenaran yang tinggi, dengan segala nilai, perspektif, dan norma intelektualitas yang melekat di dalamnya.