DEMOKRASI Indonesia diduga sedang mengalami regresi (Demokrasi Indonesia, Dari Stagnasi ke Regresi, Thomas Power 2022) serta praktinya dianggap minus pelibatan masyarakat (Demokrasi Tanpa Demos, LP3ES 2022).
Sebagai generasi penerus yang akan mewarisi negeri, anak muda merupakan pihak paling dirugikan dari kondisi demokrasi saat ini.
Mirisnya, ancaman ini justru terjadi saat Indonesia mengalami bonus demografi, jumlah anak muda menjadi mayoritas. Bahkan pada Pemilu 2024, diperkirakan 60 persen dari total pemilih adalah anak muda rentang usia 17 – 39 (DPT4 KPU).
Alih-alih menunjukan praktik-praktik demokratis dan memberikan contoh baik bagi anak muda, pemimpin negeri ini justru cenderung kerap menunjukan penyelewengan implementasi demokrasi demi kepentingan segelintir orang dan golongan.
Praktik undemocratic dilakukan oleh institusi-institusi produk dari demokrasi. Di parlemen, misalnya, mereka kerap mengesampingkan partisipasi publik dalam pembuatan undang-undang.
Bahkan dalam rapat dengar pendapat yang disiarkan secara langsung, anggota komisi III dengan terang-terangan menyebut keputusan pengesahan UU ada di tangan ketua umum parpol.
Lalu apa definisi wakil rakyat yang selama ini disematkan kepada mereka yang terhormat?
Situasi tak beda juga terjadi di pemerintah. Menguatnya tindakan represif pemerintah terhadap protes yang dilakukan rakyatnya menjadikan warga jera dan bertanya-tanya, benarkah demokrasi masih menjunjung tinggi kebebasan menyampaikan pendapat di muka umum?
Di kalangan penegak hukum, banyak oknum pejabat terjerat kasus-kasus yang meruntuhkan wibawa hukum di mata masyarakat.
Belum lagi adanya dugaan oknum aparat penegak hukum yang berkongsi dengan oknum pengusaha dan penguasa untuk kepentingan kelompok.
Kondisi ini mengakibatkan anak muda mulai antipati terhadap demokrasi.
Survey CSIS (2022) menunjukan adanya penurunan dukungan anak muda terhadap demokrasi. Tahun 2018, angka dukungan anak muda terhadap implementasi demokrasi sebesar 68,5 persen menjadi 63,8 persen tahun 2022.
Survei serupa juga menyebut hanya 1,1 persen dari anak muda yang ingin masuk partai politik, satu-satunya institusi yang punya legitimasi mengajukan figur calon pemimpin tertinggi di negeri ini.
Nasib anak muda dalam konstelasi demokrasi di Indonesia berpotensi menjadi buih di samudera, banyak tetapi tidak memiliki peran signifikan.
Faktor penyebab utamanya karena belum dibukanya saluran partisipasi anak muda terhadap proses demokrasi yang terjadi.