PENGESAHAN Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan menjadi UU oleh DPR dan pemerintah menimbulkan reaksi penolakan, bukan hanya terkait masalah teknis prosedural penyusunannya, namun juga masalah materi atau pasal-pasal yang terdapat di dalamnya.
Penolakan pengesahan Omnibus Law UU Kesehatan ini muncul dari organisasi profesi yang berkepentingan langsung, yakni Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Ikatan Apoteker Indonesia (IAI), dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) dan kelompok masyarakat sipil.
Mereka menggelar aksi pada 11 Juli 2023 lalu, di depan Gedung DPR/MPR RI Jakarta. Sebelumnya, aksi penolakan juga pernah digelar pada 8 Mei 2023, di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta.
Menurut draft Omnibus Law RUU Kesehatan yang terdapat pada laman situs resmi DPR RI, RUU tersebut merupakan penggabungan dari 9 (sembilan) undang-undang yang terkait dengan sektor kesehatan, yakni UU No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Menular, UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, UU No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa, UU No. 36 Tahun 2004 tentang Tenaga Kesehatan, UU No. 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Kebidanan.
Dalam penyusunan atau perumusan suatu undang-undang, ada 2 (dua) hal yang perlu diperhatikan, yakni: persoalan teknis prosedural dan masalah materi yang diatur dalam pasal-pasal.
Jika melihat proses perjalanan UU Kesehatan, mulai dari perumusan hingga pengesahan, maka prosesnya relatif cepat atau hanya memakan waktu kurang lebih 8 (delapan) bulan, terhitung sejak Desember 2022. Saat itu, DPR mengesahkan RUU ini masuk dalam Prolegnas Prioritas 2023.
Pada Februari 2023, RUU ini disepakati menjadi RUU inisiatif DPR dalam rapat paripurna ke-16 masa persidangan III 2022-2023. Dari 9 fraksi di DPR, 8 fraksi menyepakatinya, kecuali Fraksi PKS.
Pada Maret 2023, ada dua agenda terkait RUU ini, yakni: pada10 Maret 2023, DPR mengirim draf RUU ini kepada pemerintah dan pada 16 Maret 2023, pemerintah menargetkan penyusunan daftar inventarisasi RUU ini rampung pada Juni 2023.
Pada April 2023, secara resmi Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan diserahkan pemerintah kepada DPR.
DIM RUU ini sudah dibahas sejak Agustus 2022, namun baru diketahui publik sekitar Maret 2023 yang berisi 478 pasal, batang tubuh sebanyak 3020, dengan komposisi sebanyak 1037 tetap, 399 perubahan redaksional, dan 1584 perubahan substansi.
Sementara itu, baru pada Juni 2023, pemerintah bersama DPR mengadakan rapat kerja pembicaraan tingkat I RUU ini dengan menyepakati naskah RUU Kesehatan dilanjutkan pada pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR.
Ini memperlihatkan bahwa proses pembentukan RUU Kesehatan hingga menjadi UU memakan waktu yang cukup singkat.
Akan muncul pertanyaan publik, bagaimana bisa sembilan UU yang mau diubah menjadi Omnibus dapat dibahas secara komprehensif dalam waktu kurang dari tiga bulan?
Problem prosedur penyusunan RUU ini dapat menjadi dasar dalam pengujian formil ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Definisi pengujian formil termaktub dalam Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) No. 2 Tahun 2021 tentang Tata Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang.
Isinya bahwa pengujian formil adalah pengujian terhadap proses pembentukan undang-undang atau Perppu yang tidak memenuhi ketentuan pembentukan perundangundang atau Perppu sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Lebih lanjut, dalam Sub-paragraf [3.15.1] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUUXVII/2019, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pengujian formil (formeele toetsing) adalah pengujian atas suatu produk hukum yang didasarkan atas proses pembentukan undang-undang.
Secara umum, kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formilnya adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh institusi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure) (vide Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUUXVII/2019, hlm. 361-362).