JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengaku sulit menindak praktik mahar politik atau jual-beli kursi pencalonan (candidacy buying).
Pasalnya, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak mengatur sanksinya.
Hal ini berbeda dengan fenomena politik uang alias jual-beli suara (vote buying) yang ketentuan sanksinya tegas diatur.
"Dalam dimensi UU Pemilu, terdapat kesulitan bagi Bawaslu menindak pelaku mahar politik, sebab UU Pemilu hanya memberikan norma larangan namun tidak mengatur sanksi," kata Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu RI, Puadi, kepada wartawan pada Jumat (7/7/2023).
Baca juga: Singgung soal Mahar Politik, Nasdem Sebut Parpol Jadi Institusi yang Paling Tak Dipercaya Rakyat
Puadi mnejelaskan, secara prinsip, mahar politik memang berlainan dari politik uang.
Ia menjelaskan, mahar politik merupakan imbalan yang diterima partai politik saat proses pencalonan presiden/wakil presiden maupun anggota legislatif di tingkat pusat maupun daerah.
Puadi menyatakan, ketentuan sanksi soal mahar politik justru lebih tegas diatur dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dalam Pasal 187B UU Pilkada, misalnya, anggota partai politik atau gabungan partai politik yang sengaja menerima imbalan saat proses pencalonan kepala daerah dipidana dengan penjara 36-72 bulan.
Baca juga: Uang-uang Haram Jelang Pemilu 2024, Memupuk Dana Kampanye dari Hasil Korupsi
Ancaman dendanya Rp 300 juta hingga Rp 1 miliar bagi pelaku yang terbukti melakukannya.
"Sikap Bawaslu terhadap praktik mahar politik dan politik uang sangat jelas, yaitu melalui mekanisme pencegahan dan penindakan," ucap Puadi.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron menyebut politik transaksional masih menjadi tantangan jelang Pemilu 2024.
Fenomena yang ia sebut "korupsi politik" yang terjadi selama ini membuktikan adanya masalah di tubuh partai politik.
"Parpol tidak memiliki standar etik partai, rekrutmen politik yang tertutup, eksklusif, dan marak nepotisme, serta pendanaan partai politik yang masih problematik," ujar Ghufron
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.