INDONESIA pada hakikatnya adalah negara dan bangsa yang multikultural. Kenyataan tersebut muncul secara alamiah, karena Indonesia memiliki populasi yang besar, 273,52 juta jiwa, terdiri paling sedikit 1.340 suku lokal, 2.332 komunitas masyarakat adat, dan ratusan ras-etnis yang datang dari berbagai negara di dunia.
Dalam hal agama, selain banyak agama tradisional dari komunitas adat tersebut, masyarakat Indonesia menganut enam agama besar, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Selain itu, multikulturalisme Indonesia juga mengacu pada berbagai kelompok yang berbeda dalam bahasa, tingkat pendidikan, pendapatan ekonomi, dan gaya hidup.
Multikulturalisme itu ibarat pelangi. Banyak ‘warna’ dan tampak indah karena terbentuk oleh unsur-unsur kebudayaan seperti religi, ipteks, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian yang sangat berbhineka (Tumanggor, Ridho, & Nurochim, 2014).
Multikulturalisme dapat membawa manfaat positif, yakni menumbuhkan sikap terbuka, saling menghargai, kehidupan yang berdamai dan harmoni, solidaritas, toleransi, kerja sama dan kolaborasi.
Namun pada sisi lain, multikulturalisme berpotensi menimbulkan dampak negatif. Situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan bahwa konsekuensi negatif masyarakat multikultural di Indonesia antara lain munculnya masalah etnisitas, menguatnya primordialisme dan etnosentrisme, adanya prasangka dan stereotip, ketegangan antara kelompok minoritas dan mayoritas, rentan konflik sosial berbasis SARA, dan adanya potensi disintegrasi bangsa.
Selama hampir 78 tahun usia kemerdekaannya, Indonesia telah dinodai oleh ribuan konflik sosial, mulai dari skala kecil hingga yang memakan ribuan korban jiwa.
Lalu, berdasarkan analisis terhadap pemberitaan media, CSIS mencatat, selama 2022 terjadi 1.114 peristiwa kekerasan kolektif di Indonesia. Bahkan, sekarang ini, di Papua sedang terjadi konflik yang mengancam integrasi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Ibarat pepatah, ‘ada banyak jalan menuju Roma’, begitu pula ada banyak cara untuk memberi bobot positif pada realitas multikultural bangsa kita.
Indonesia memang sudah memiliki ideologi Pancasila dan UUD 1945 berisi nilai-nilai yang menjadi landasan untuk hidup dalam situasi multikultural.
Kita juga punya semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang menggelorakan semangat untuk hidup rukun dan damai serta bergotong royong untuk membangun kehidupan yang lebih berkualitas.
Di tempat-tempat ibadah: masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng, para alim ulama selalu mengimbau agar kita untuk saling mengasihi dan saling membantu, bersikap toleran, serta peduli demi masyarakat yang lebih baik.
Di sekolah pun, kita memiliki kurikulum yang menekankan pengembangan karakter yang terbuka, saling menghargai perbedaan, bergaul dan saling bekerja sama tanpa sekat SARA.
Meski demikian, tak ada salahnya juga kalau kita belajar menghargai dan mendayagunakan realitas sosial multikulural demi mewawat NKRI dan membangun Indonesia menjadi lebih baik, dari gagasan dan praktik hidup Dr. K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Sebab Gus Dur telah diakui baik oleh bangsa Indonesia maupun masyarakat dunia, sebagai tokoh panutan dalam mengembangkan dan mendayagunakan multikulralisme.