Pada 2005, Wall Street Journal (WSJ), menulis dalam kolom, bahwa Gus Dur.. "nothing less than a global struggle for the soul of Islam..".
Gus Dur dianggap sebagai pejuang, intelektual dan aktivis Muslim yang tidak lelah bersuara dan menyampaikan gagasan, mengabdikan diri untuk perdamaian dunia.
Greg Fealy dari Australian National University mengagumi Gus Dur. Mendengar berita bahwa Gus Dur wafat, Fealy berkomentar: “Dia (Gus Dur) benar-benar tokoh reformasi yang paling berani dan mungkin paling karismatik dalam isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dialog antaragama dan reformasi agama.”
Biksu dari Tibet, H E Kyabje Dagri Rinpoche, bahkan mengenang Gus Dur sebagai sosok yang telah bekerja keras mewujudkan kesetaraan dan kerukunan umat beragama. Karena itu, banyak yang memuji dedikasinya yang luar biasa.
Jiwa multikulturalisme memang menyatu dengan jiwa dan kehidupan Gus Dur. Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, melainkan terbentuk melalui pendidikan yang dialaminya dari kedua orangtuanya dan orang dekat lainnya.
Dikisahkan, masa kecil Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syamsuri (pendiri pondok pesantren Denanyar).
Berkat bimbingan ibunya, pada usia empat tahun Gus Dur telah mampu membaca Al Qur’an beserta ilmu tajwidnya.
Setelah itu Gus Dur mengikuti ayahnya, Wahid Hasyim, di Menteng Jakarta Pusat. Kala itu ayahnya menjadi Shumubu, semacam kantor utusan agama atas permintaan pemerintah Jepang.
Konon, sejak tinggal di Jakarta bersama ayahnya, Gus Dur muda, langsung dibimbing oleh sang ayah untuk membina relasi dengan berbagai lapisan masyarakat, baik orang pribumi maupun orang dengan banyak ideologi yang berbeda.
Ia pernah berinteraksi dengan berbagai, tokoh baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus seperti Mohammad Hatta, dan mereka yang berhaluan kiri seperti Tan Malaka.
Selama di pesantren Al-Munawwir di Krapyak, ia belajar bahasa Arab dari KH. Ali Maksum. Ia juga belajar Bahasa Inggris, Perancis dan Belanda serta Jerman sehingga bisa melahap banyak buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be Done (Lenin), dan bacaan filsafat, buah pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato dan Aristoteles.
Tahun 1964, Gus Dur berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al- Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, perpustakaan terlengkap di kota itu.
Dari Mesir, Gus Dur pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.
Setelah batal melanjutkan studi ke Eropa dan Kanada, tahun 1971, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Semenjak awal dekade 1970-an hingga menjelang akhir hayatnya, Gus Dur mencurahkan berbagai pemikiran bernasnya tentang Islam, pembangunan, demokrasi, dan penegakan HAM. Gus Gur juga giat mengembangkan jalinan persaudaraan dan dialog antarsesama agama.