Dalam hal agama, selain banyak agama tradisional dari komunitas adat tersebut, masyarakat Indonesia menganut enam agama besar, yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Selain itu, multikulturalisme Indonesia juga mengacu pada berbagai kelompok yang berbeda dalam bahasa, tingkat pendidikan, pendapatan ekonomi, dan gaya hidup.
Multikulturalisme itu ibarat pelangi. Banyak ‘warna’ dan tampak indah karena terbentuk oleh unsur-unsur kebudayaan seperti religi, ipteks, ekonomi, organisasi sosial, bahasa dan komunikasi, serta kesenian yang sangat berbhineka (Tumanggor, Ridho, & Nurochim, 2014).
Multikulturalisme dapat membawa manfaat positif, yakni menumbuhkan sikap terbuka, saling menghargai, kehidupan yang berdamai dan harmoni, solidaritas, toleransi, kerja sama dan kolaborasi.
Namun pada sisi lain, multikulturalisme berpotensi menimbulkan dampak negatif. Situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyebutkan bahwa konsekuensi negatif masyarakat multikultural di Indonesia antara lain munculnya masalah etnisitas, menguatnya primordialisme dan etnosentrisme, adanya prasangka dan stereotip, ketegangan antara kelompok minoritas dan mayoritas, rentan konflik sosial berbasis SARA, dan adanya potensi disintegrasi bangsa.
Selama hampir 78 tahun usia kemerdekaannya, Indonesia telah dinodai oleh ribuan konflik sosial, mulai dari skala kecil hingga yang memakan ribuan korban jiwa.
Lalu, berdasarkan analisis terhadap pemberitaan media, CSIS mencatat, selama 2022 terjadi 1.114 peristiwa kekerasan kolektif di Indonesia. Bahkan, sekarang ini, di Papua sedang terjadi konflik yang mengancam integrasi negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Belajar dari Gus Dur
Ibarat pepatah, ‘ada banyak jalan menuju Roma’, begitu pula ada banyak cara untuk memberi bobot positif pada realitas multikultural bangsa kita.
Indonesia memang sudah memiliki ideologi Pancasila dan UUD 1945 berisi nilai-nilai yang menjadi landasan untuk hidup dalam situasi multikultural.
Kita juga punya semboyan ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang menggelorakan semangat untuk hidup rukun dan damai serta bergotong royong untuk membangun kehidupan yang lebih berkualitas.
Di tempat-tempat ibadah: masjid, gereja, pura, vihara dan klenteng, para alim ulama selalu mengimbau agar kita untuk saling mengasihi dan saling membantu, bersikap toleran, serta peduli demi masyarakat yang lebih baik.
Di sekolah pun, kita memiliki kurikulum yang menekankan pengembangan karakter yang terbuka, saling menghargai perbedaan, bergaul dan saling bekerja sama tanpa sekat SARA.
Meski demikian, tak ada salahnya juga kalau kita belajar menghargai dan mendayagunakan realitas sosial multikulural demi mewawat NKRI dan membangun Indonesia menjadi lebih baik, dari gagasan dan praktik hidup Dr. K.H Abdurahman Wahid (Gus Dur).
Sebab Gus Dur telah diakui baik oleh bangsa Indonesia maupun masyarakat dunia, sebagai tokoh panutan dalam mengembangkan dan mendayagunakan multikulralisme.
Pada 2005, Wall Street Journal (WSJ), menulis dalam kolom, bahwa Gus Dur.. "nothing less than a global struggle for the soul of Islam..".
Gus Dur dianggap sebagai pejuang, intelektual dan aktivis Muslim yang tidak lelah bersuara dan menyampaikan gagasan, mengabdikan diri untuk perdamaian dunia.
Greg Fealy dari Australian National University mengagumi Gus Dur. Mendengar berita bahwa Gus Dur wafat, Fealy berkomentar: “Dia (Gus Dur) benar-benar tokoh reformasi yang paling berani dan mungkin paling karismatik dalam isu-isu seperti demokrasi, hak asasi manusia, dialog antaragama dan reformasi agama.”
Biksu dari Tibet, H E Kyabje Dagri Rinpoche, bahkan mengenang Gus Dur sebagai sosok yang telah bekerja keras mewujudkan kesetaraan dan kerukunan umat beragama. Karena itu, banyak yang memuji dedikasinya yang luar biasa.
Bercermin pada masa muda Gus Dur
Jiwa multikulturalisme memang menyatu dengan jiwa dan kehidupan Gus Dur. Hal itu tidak terjadi secara kebetulan, melainkan terbentuk melalui pendidikan yang dialaminya dari kedua orangtuanya dan orang dekat lainnya.
Dikisahkan, masa kecil Gus Dur dihabiskan dalam lingkungan pesantren milik kakeknya Hasyim Asy’ari (pendiri pondok pesantren Tebuireng) dan Kiai Bisri Syamsuri (pendiri pondok pesantren Denanyar).
Berkat bimbingan ibunya, pada usia empat tahun Gus Dur telah mampu membaca Al Qur’an beserta ilmu tajwidnya.
Setelah itu Gus Dur mengikuti ayahnya, Wahid Hasyim, di Menteng Jakarta Pusat. Kala itu ayahnya menjadi Shumubu, semacam kantor utusan agama atas permintaan pemerintah Jepang.
Konon, sejak tinggal di Jakarta bersama ayahnya, Gus Dur muda, langsung dibimbing oleh sang ayah untuk membina relasi dengan berbagai lapisan masyarakat, baik orang pribumi maupun orang dengan banyak ideologi yang berbeda.
Ia pernah berinteraksi dengan berbagai, tokoh baik dari kalangan agamawan, nasionalis, politikus seperti Mohammad Hatta, dan mereka yang berhaluan kiri seperti Tan Malaka.
Selama di pesantren Al-Munawwir di Krapyak, ia belajar bahasa Arab dari KH. Ali Maksum. Ia juga belajar Bahasa Inggris, Perancis dan Belanda serta Jerman sehingga bisa melahap banyak buku antara lain Das Kapital (Karl Mark), What is To Be Done (Lenin), dan bacaan filsafat, buah pemikiran filsuf Yunani kuno, Plato dan Aristoteles.
Tahun 1964, Gus Dur berangkat ke Kairo untuk belajar di Universitas Al- Azhar. Namun sebagian besar waktunya di Mesir dihabiskan di ruang perpustakaan, terutama American University Library, perpustakaan terlengkap di kota itu.
Dari Mesir, Gus Dur pindah ke Universitas Bagdhad mengambil fakultas sastra.
Setelah batal melanjutkan studi ke Eropa dan Kanada, tahun 1971, ia memutuskan untuk kembali ke Indonesia setelah terilhami berita-berita menarik sekitar perkembangan dunia pesantren.
Nilai-nilai Gus Dur
Semenjak awal dekade 1970-an hingga menjelang akhir hayatnya, Gus Dur mencurahkan berbagai pemikiran bernasnya tentang Islam, pembangunan, demokrasi, dan penegakan HAM. Gus Gur juga giat mengembangkan jalinan persaudaraan dan dialog antarsesama agama.
Ketua Majelis Agung GKJW Condro Firmanto Garjito pernah bersaksi bahwa selama tujuh tahun dari 1974 hingga 1981, Gus Dur tiap bulan sekali datang ke Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) yang berada di Jalan S Supriyadi No 18 Kota Malang untuk mengajar.
Bahkan, Gus Dur sering kali menginap di sana dan mendapat ruang tidur berukuran 5x7 m, yang bersebelahan dengan kamar mandi, karena ia sering bolak-balik ke kamar mandi.
Tidak hanya itu, Gus Dur giat menjalin persabatan dengan banyak tokoh dan pastor Katolik. Ia diketahui bersahabat karib dengan Romo YB Mangunwijaya dan Romo Frans Magnis Suseno.
Bahkan, ia mengangkat Romo Eko Budi Susilo yang nota bene adalah Vikaris Uskup Surabaya sebagai anggota dari keluarganya sendiri.
Lebih daripada itu, Gus Dur pernah menjalin dialog dengan Paus Yohanes Paulus II, pemimpin gereja Katolik sedunia.
Makanya, setiap perayaan Idul Fitri, Paus Yohanes Paulus II selalu menyampaikan ucapan selamat kepada Gus Dur, NU dan umat Islam di Indonesia.
Semasa kepresidenannya, Gus Dur mengakui secara resmi agama Kong Hu Cu dan menjadikan tahun baru Imlek sebagai hari libur nasional. Karena itu, Gus Dur dijuluki sebagai Bapak Toleransi.
Gagasan, sikap serta cara hidup Gus Dur yang bersifat multikultural tersimpul pada nilai-nilai universal yang selalu dipegangnya dengan teguh, di antaranya nilai tauhid (monotheisme), kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, kearifan lokal dan kesatriaan.
Bagi Gus Dur, tauhid adalah landasan bagi seluruh nilai yang lain adalah monoteisme berasal dari iman kepada Allah sebagai Yang Esa, Dzat Yang Maha Mencintai, sumber segala sumber dan rahmat kehidupan di alam semesta.
Tauhid menjadi poros nilai-nilai ideal yang diperjuangkan Gus Dur di luar lembaga agama dan birokrasi, dalam kehidupan sosial, politik, perjuangan ekonomi, dan budaya dalam menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Status manusia sebagai mahluk paling mulia harus selalu dihargai. Itu sebabnya Gus Dur selalu membela kemanusiaan dan keadilan sosial tanpa syarat.
Demi nilai keadilan dan kesetaraan ini, Gus Dur, pantang mundur membela dan memihak pada yang tertindas dan lemah, termasuk kelompok minoritas dan kaum yang terpinggirkan.
Nilai yang sangat kuat dipegang Gus Dur adalah kesederhanaan. Kesederhanaan Gus Dur telah menjadi sebuah gaya hidup yang menjadi antitese dari gaya hidup komsumtif, materialistis, dan korup.
Nilai-nilai Gus Dur tersebut adalah urat nadi kehidupan bernegara dan berbangsa yang multikultural.
Nilai-nilai tersebut menjadi pilar utama pembangunan karakter bangsa yang jujur, terbuka, toleran, bebas sikap konsumtif dan perbutan koruptif, tidak menebarkan ujaran kebencian dan berita hoaks, tidak melakukan kekerasan, dan jauh dari radikalisme politik dan agama.
Dengan kata lain, nilai-nilai yang dijunjung tinggi Gus Dur menjadi modal sosial yang berharga bagi bangsa Indonesia yang majemuk dan multikultural ini.
Apabila seluruh anak bangsa Indonesia mau belajar menghayati nilai-nilai tersebut, maka Indonesia akan memiliki sumber daya manusia yang mulia dan bermartabat, penuh kasih sayang, berawasan luas, terbuka dan toleran, serta siap berkolaborasi dengan orang dari budaya apa pun, demi Indonesia dan dunia yang lebih damai, adil dan sejahtera.
Untuk itu marilah belajar multikulturalisme dari Gusdur.
https://nasional.kompas.com/read/2023/06/27/10450061/belajar-menghargai-multikulturalisme-dari-gus-dur