UNTUK kesekian kalinya kita dikejutkan dengan kenyataan pejabat tinggi negara terjerat korupsi. Paling mutakhir, Johnny G. Plate selaku Menkoinfo ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejaksaan Agung karena sangkaan tindak pidana korupsi BTS 4G Bakti Kominfo.
Konon, dugaan kerugian negara akibat tindakan korupsi Johnny G. Plate yang juga sebagai petinggi partai politik yang memiliki kursi di Senayan itu diduga mencapai Rp 8 triliun. Angka yang sangat fantastis.
Sebelumnya, kita juga disuguhi berita negatif yang sama, yaitu peristiwa penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Lukas Enembe yang saat itu menjadi petinggi partai politik yang pernah berkuasa di negeri ini ditangkap karena dugaan kasus suap dan gratifikasi.
Peristiwa hukum tersebut setidaknya mengonfirmasi dua hal. Pertama, menginformasikan betapa pejabat publik di negeri ini masih sering tersangkut korupsi.
Kedua, menjelaskan betapa kader partai politk masih banyak yang terjerat korupsi.
Jika dicermati dari sisi pemberantasan korupsi, peristiwa di mana kader partai politik yang memegang jabatan publik terjerembab pada kubangan tindak pidana korupsi itu menjadi ironi.
Karena, fungsi partai politik sebagai infrastruktur politik yang diharapkan dapat turut serta mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean governance) menjadi dipertanyakan.
Apakah partai politik mampu sebagai agen pemberantasan korupsi, atau sebaliknya terjebak sebagai “agen korupsi”?
Salah satu faktor yang menyebabkan Soeharto lengser dari kursi presiden pada 1998 adalah adanya krisis ekonomi yang disebabkan maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Maka, agenda pemberantasan korupsi merupakan salah satu dari tuntutan reformasi.
Pascakejatuhan Soeharto, MPR menetapkan Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Tidak berhenti di situ. Menindaklanjuti Tap MPR No. XI/MPR/1998, maka dikeluarkan, pertama, UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Kedua, UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001.
Mendasarkan pada ketentuan UU No. 31 Tahun 1999 inilah kemudian diterbitkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 2015 dan terakhir UU No. 19 Tahun 2019, sebagai payung hukum dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dari fakta di atas, kita bisa melihat betapa ikhtiar untuk mengatasi korupsi merupakan hal yang sangat serius.
Ini terlihat dengan adanya pembuatan peraturan perundang-undangan secara sistematis terkait pemberantasan korupsi dan sekaligus pembentukan komisi yang khusus diberikan tugas dan fungsi dalam hal pemberantaasan korupsi dengan kedudukan sangat kuat, yaitu KPK.
Setelah lebih kurang 25 tahun reformasi berjalan, apakah pemberantasan korupsi sebagai anak kandung reformasi membuahkan hasil yang diharapkan? Apakah partai politik sudah mampu menjadi agen pemberantasan korupsi?
Dari data Transparency International dan Transparency International Indonesia, pada 2007, setelah 5 tahun dibentuknya KPK, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) / Corruption Perception Index (CPI) Indonesia menunjukkan skor 2,3 (dari skala 0-10, di mana 0 menunjukkan tingkat persepsi korupsi yang tinggi dan 10 menunjukkan tingkat persepsi korupsi yang rendah).
Dari 180 negara yang disurvei terdapat 40 negara ada di bawah skor 3 yang menunjukkan korupsi merajalela. Indonesia termasuk salah satunya.
Pada 2009, IPK/CPI Indonesia berada pada skor 2,8. Ada kenaikan 0,5. Meskipun masih kategori sangat korup.
Pada 2014, skor IPK/CPI Indonesia sebesar 34 (dari skala 0-100 di mana nilai 0 artinya paling korup, sedangkan nilai 100 berarti paling bersih). Menempati rangking 107 dari 175 negara yang diukur. Indonesia masih belum masuk dalam kelompok negara yang bersih dari korupsi.