JAKARTA, KOMPAS.com - Para aktivis perempuan yang tergabung dalam aliansi Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mengancam bakal menggugat Pasal 8 ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 ke Mahkamah Agung.
Pasalnya, aturan ini berpotensi mengurangi jumlah caleg perempuan pada Pemilu 2024 dan dinilai tak selaras dengan Pasal 245 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan.
"Menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada Pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung (MA)," kata perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan Valentina Sagala dalam jumpa pers, Senin (8/5/2023).
Menurutnya, langkah ini akan ditempuh apabila dalam waktu 2 hari, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI dan KPU RI gagal melakukan revisi atas aturan tersebut.
Baca juga: Rawan Sengketa, KPU Didesak Segera Revisi Aturan yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan
Hal ini merupakan butir kesepakatan koalisi dengan Bawaslu RI setelah melakukan audiensi sore tadi.
Valentina menyebut Bawaslu perlu turun tangan dan menjalankan fungsi pengawasannya atas penerbitan aturan yang dinilai tak selaras dengan Pasal 245 UU Pemilu.
"Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan menuntut Bawaslu untuk menjalankan perannya dalam melakukan pengawasan tahapan penyelenggaraan pemilu dalam waktu 2x24 jam," ujar dia.
Ia mengatakan, Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 yang telah disahkan itu mematikan upaya peningkatan keterwakilan perempuan dalam pencalonan DPR dan DPRD.
Baca juga: Aturan Baru KPU Bisa Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan di Hampir Separuh Dapil
"Sesuai kewenangannya Bawaslu harus menerbitkan rekomendasi kepada KPU untuk segera merevisi Pasal 8 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan UU Pemilu," tambahnya.
Diketahui, Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan terdiri dari beberapa organisasi, di antaranya Kaukus Perempuan Parlemen Republik Indonesia (KPPRI), Maju Perempuan Indonesia (MPI), Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM), Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR), Puskapol UI, dan sebagainya.
Sebagai informasi, aturan baru KPU ini belakangan ramai dikritik kalangan pegiat pemilu dan aktivis kesetaraan gender, sebab diprediksi bakal mengancam jumlah perempuan di parlemen secara signifikan.
Baca juga: Peraturan Baru KPU Berpotensi Kurangi Keterwakilan Caleg Perempuan pada 2024
Aturan ini mengatur, jika perhitungan 30 persen dari jumlah alokasi kursi di suatu dapil menghasilkan angka desimal kurang dari koma lima, maka berlaku pembulatan ke bawah.
Sebagai misal, jika di suatu dapil terdapat 8 alokasi kursi, maka jumlah 30 persen keterwakilan perempuannya adalah 2,4.
Karena angka di belakang desimal kurang dari 5, maka berlaku pembulatan ke bawah. Akibatnya, keterwakilan perempuan dari total 8 caleg di dapil itu cukup hanya 2 orang dan itu dianggap sudah memenuhi syarat.
Padahal, 2 dari 8 caleg setara 25 persen saja, yang artinya belum memenuhi ambang minimum keterwakilan perempuan 30 persen.
Baca juga: Aturan KPU yang Bisa Kurangi Caleg Perempuan Rupanya Hasil Rapat dengan DPR