DI BULAN Maret2023 ini, untuk kesekian kalinya saya membaca buku berjudul “Sambernyawa menggugat Indonesia”.
Di halaman 33 sampai 98 buku ini, penulisnya, mengingatkan para pembacanya agar mewaspadai adanya usaha akal-akalan memperpanjang masa jabatan presiden lebih dari dua periode.
Penulisnya juga mengkumandangkan bahaya stabilitas dan kemampanan korupsi di Indonesia yang disertai bahaya kenikmatan kursi kekuasaan, bahaya KKN (Kolusi, korupsi dan nepotisme), serta bahaya feodalisme gaya baru.
Penulis dalam buku terbitan 2011, Soeryo Soedibyo Mangkoehadiningrat, antara lain menunjukan kekuasaan itu kenikmatan yang membahayakan.
Oleh karena itu, setelah gerakan reformasi yang menumbangkan Soeharto dari kursi kepresidenan, memunculkan konstitusi yang membatasi masa jabatan presiden dua periode saja.
Namun, kata buku ini, walau masa jabatan presiden telah dibatasi dua periode, perlu diwaspadai terhadap segala upaya untuk mengakali ketentuan konstitusi ini. Upaya licik ini akan terus berlangsung.
Kalau boleh saya komentar ini terjadi sampai saat ini. Usaha akal-akalan yang licik ini adalah untuk memapankan ambisi sang penguasa mengkekalkan kuasanya.
Akal licik itu, antara lain dilakukan dengan merekayasa secara canggih pemilihan di daerah yang menghasilkan anak, menantu, istri atau bahkan istri muda jadi penguasa. Demokrasi dijadikan topeng cantik atas usaha munafik tersebut.
Cara berbau nepotisme ini tentu hanya salah satu cara licik di antara puluhan cara licik lainnya.
Tentu ada cara dengan pengumpulan massa, survei yang direkayasa secara canggih, memviral big data semu, pengerahan para ponggawa penjilat menyerukan perpanjangan masa jabatan dan pembangunan proyek-proyek mercusuar serta aksi-aksi busuk lainnya.
“Nikmat kekuasaan membuat penguasa selalu terlena hingga merasa bahwa negara atau daerah hanya milikinya sendiri…..Nikmat kekuasaan membuat lupa ia presiden bukan raja,” demikian kata penulis buku itu di halaman 93.
Dalam buku ini juga dituliskan, saat ini, banyak pengusaha membangun usahanya dengan cara-cara KKN.
Buku ini juga mengatakan, kecemasan pada era sekarang ini adalah selain politik transaksional kian menguat, kehadiran karakter feodalisme baru, dalam ranah politik nasional atau lokal semakin tampak vulgar.
“Republik ini tidak akan beranjak menjadi negara demokratis karena kultur politiknya yang dibangun semata-mata melanjutkan tradisi politik feodal yang diwarisi dari masa lalu (kerajaan),” kata buku setebal 107 halaman ini.
Saya sering mendengar nama Sambernyawa yang banyak disebut oleh beberapa orang Solo sebagai Pangeran Gunung Lawu ini, dari pidato atau uraian panjang lebar secara lisan maupun tertulis Soeharto (presiden kedua RI). Soeharto sangat memuja Pangeran Sambernyawa ini.