JAKARTA, KOMPAS.com - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menampik ada muatan politik yang mendorong usulan revisi Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK).
Ia mengatakan, wacana revisi UU tersebut tak berkaitan dengan proses pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.
“Kalau saya tidak melihat ada hubungannya, kenapa? Perppu Ciptaker kan dibahas di Baleg (Badan Legislasi), (sedangkan) Undang-Undang MK tadinya mau sempat ada usulan dibahas di Baleg,” ujar Arsul ditemui di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (16/2/2023).
“Tapi, kami Komisi III itu meminta karena MK itu mitra konsultasinya Komisi III, maka revisi UU MK itu ditarik ke Komisi III,” katanya lagi.
Baca juga: Revisi UU MK, Ketua Komisi III: Supaya Kita Clear Buat UU, Tak Kena Judicial Review
Ia mengklaim usulan merevisi UU MK dilakukan agar tercapai sejumlah perbaikan. Salah satunya, terkait asas nemo judex ideoneus in propria causa atau seseorang tidak dapat menjadi hakim untuk mengadili kepentingannya sendiri.
“Artinya, hakim MK tidak boleh mengadili perkara uji materi ketika yang diuji materi itu adalah UU MK itu sendiri,” ujar Arsul.
Oleh karenanya, Komisi III DPR RI mengusulkan agar dibentuk hakim MK ad hoc yang berada di luar 9 hakim MK.
Fungsinya, agar hakim ad hoc itu yang memiliki wewenang untuk mengadili judicial review terkait UU MK.
“Sehingga yang hakim ad hoc ini kan tidak punya kepentingan,” kata Arsul.
Baca juga: Pemerintah Setujui Revisi UU MK meski Akademisi Usulkan Tolak
Diketahui, akhir 2021 lalu, MK menyatakan UU Cipta Kerja bersifat inkonstitusional bersyarat sehingga harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.
Merespons putusan itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perppu Ciptaker di akhir 2022.
Baleg DPR RI telah menyetujui Perppu Ciptaker dibawa ke rapat paripurna untuk disahkan sebagai undang-undang.
Keputusan tersebut tetap diambil meskipun diwarnai penolakan dari dua fraksi, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan PKS.
Baca juga: Anggap MK Kerap Batalkan UU, DPR Revisi UU MK
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.