JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi III DPR menginginkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (MK) direvisi.
Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyatakan, dorongan revisi ini berangkat dari langkah MK yang acap kali membatalkan UU yang dibuat DPR.
Pacul, sapaannya, menyebut sejumlah UU produk DPR yang sebelumnya telah dibatalkan MK. Salah satunya, yakni UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"UU Ciptaker, masa dibatalkan dengan UU Pembentukan Peraturan Perundangan, jangan begitu dong solusinya," ujar Pacul di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (15/2/2023).
Baca juga: Revisi UU MK, Ketua Komisi III: Supaya Kita Clear Buat UU, Tak Kena Judicial Review
Pacul menyatakan dorongan revisi ini juga sebagai langkah agar MK dapat melaksanakan tugas penegakkan hukum.
"Bagaimana menerjemahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 clear. Karena sesungguhnya tugas terutama dan paling utama bagi MK adalah menyandingkan UU dengan UUD 1945," ujar Pacul.
Selain itu, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDI-P ini merasa tugas yang diemban MK sejauh ini belum dilakukan.
Bahkan, Pacul menambahkan, terdapat kasus hakim MK yang dinilai tidak melaksanakan tugasnya.
Baca juga: Pemerintah Setujui Revisi UU MK meski Akademisi Usulkan Tolak
Karena itu, revisi UU MK diperlukan yang salah satunya untuk membicarakan komposisi hakim-hakim MK.
"Mengevaluasi hakim-hakim yang tidak menjalankan tugasnya. Nah tugas-tugasnya peraturan MK sekarang kita baca semua, supaya kita clear di dalam membuat UU tidak di-judicial review, malu, DPR malu, kalau UU di-judicial review kemudian dibatalkan," imbuh dia.
Sebelumnya, Komisi III menggelar rapat kerja bersama Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD terkait usulan revisi UU MK.
Rapat digelar di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu. Rapat dipimpin langsung oleh Pacul.
Paparan atau usulan diwakili oleh Anggota Komisi III Habiburokhman. Dalam rapat tersebut, Habiburokhman mengungkapkan alasan UU MK perlu direvisi untuk keempat kalinya.
"RUU ini merupakan perubahan keempat atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, perubahan undang-undang ini dilatarbelakangi karena terdapat beberapa ketentuan yang dibatalkan Putusan MK Nomor 96/PUU-XVII/2020 dan Putusan MK Nomor 56/PUU-XX/2022," kata Habiburokhman membacakan pertimbangan.
Habiburokhman mengatakan, UU MK yang kali terakhir direvisi pada 2020 itu sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kehidupan ketatanegaraan.
"Menyesuaikan dengan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan," kata Habiburokhman.
Dalam pertimbangan Komisi III, beberapa pokok materi soal revisi UU MK tersebut, salah satunya persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi.
Kemudian, soal evaluasi hakim konstitusi dan unsur keanggotaan majelis kehormatan Mahkamah Konstitusi.
(Penulis: Nicholas Ryan Aditya | Editor: Sabrina Asril)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.