JAKARTA, KOMPAS.com - Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) melihat fenomena kebijakan rezim Presiden Joko Widodo (jokowi) mengarah pada model kebijakan rezim Demokrasi Terpimpin ala Presiden ke-1 RI Soekarno.
Ketua Umum PBHI Julius Ibrani mengatakan, fenomena ini dapat terbaca pada beberapa kebijakan yang kian tersentralisasi, utamanya dalam kepemimpinan daerah.
"Jadi (ini soal) bagaimana seluruh kewenangan baik di level pusat, daerah, mekanisme demokrasi dan segala macam dibajak, dan itu menjadi kewenangan tunggal yang bersifat absolut dari pimpinan eksekutif tertinggi. Siapa dia, presiden Jokowi," ujar Julius dalam diskusi virtual, Kamis (15/12/2022).
Ia menyoroti bagaimana hingga saat ini, Presiden Jokowi maupun Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian tidak kunjung menerbitkan peraturan pelaksana dalam hal pengangkatan penjabat (pj) kepala daerah.
Baca juga: Jokowi dan Mendagri Digugat ke PTUN terkait Pengangkatan Pj Kepala Daerah, Kemendagri Buka Suara
Padahal, penerbitan aturan itu amanat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan rekomendasi Ombudsman RI yang keduanya sama-sama lembaga negara berwenang.
Oleh karenanya, kesewenangan pemerintah dalam menunjuk pj kepala daerah dinilai sangat tampak.
Dalam diskusi yang sama, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti bagaimana Pj Gubernur Aceh, Achmad Marzuki, mundur dari TNI dan diangkat sebagai staf ahli Mendagri pada hari yang sama, 1 April 2022.
Padahal, pengangkatan seseorang sebagai staf ahli harus melalui prosedur panjang sebagaimana diatur Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2020.
Marzuki kemudian diangkat sebagai Pj Gubernur Aceh pada 4 April 2022.
Baca juga: Jokowi Digugat, PTUN Diminta Batalkan Pengangkatan Pj Kepala Daerah
"Ini yang harus dilihat publik, bukan hanya dari pelanggaran hak publiknya, persoalan prosedur yang dilanggar, tapi kepentingan membajak demokrasi dan menjadikan proses politik demokrasi ini kewenangan tunggal yang absolut di bawah kewenangan Presiden Joko Widodo selaku pimpinan eksekutif," ujar Julius.
Ia lantas menyoroti pernyataan Wakil Ketua KPK Alexander Marwata baru-baru ini yang menyatakan bahwa pemimpin daerah yang dipilih rakyat tidak menjamin yang bersangkutan bebas korupsi.
Argumen tersebut dinilai mendukung penunjukkan kepala daerah secara sepihak oleh penguasa sebagaimana juga pernah disampaikan Tito Karnavian
Julius kemudian memprediksi, argumen sejenis bakal keluar dari lembaga eksekutif lain.
"Ke depan akan banyak suara-suara atau nada yang sama tapi mungkin dalam aspek berbeda. Misalnya, kemenkomarves akan mengatakan, (kepala daerah) dipilih rakyat tidak mencerminkan perbaikan ekonomi sehingga sudahlah, dipilih negara saja, atau dipilih eksekutif saja yang lebih dipercaya investor dan sebagainya," katanya.
Baca juga: Jokowi dan Mendagri Digugat karena Belum Keluarkan Aturan Pelaksana Pengangkatan Pj Kepala Daerah
Julius juga menyoroti dugaan kecurangan yang dilakukan KPU dalam verifikasi partai politik, yang menentukan partai-partai mana saja yang berhak lolos untuk ikut Pemilu 2024.