JAKARTA, KOMPAS.com - Kapten Anumerta Pierre Andries Tendean merupakan salah satu perwira TNI Angkatan Darat yang menjadi korban penculikan dan pembunuhan oleh pasukan Cakrabirawa dalam peristiwa Gerakan 30 September/PKI atau dikenal G-30-S/PKI.
Dalam peristiwa yang terjadi pada medio 1965 itu, Pierre yang kala itu baru menginjak usia 26 tahun sebenarnya bukan target utama dari pasukan pengawal Presiden Soekarno.
Namun, Pierre mengorbankan diri demi melindungi pimpinannya, Jenderal AH Nasution, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan sekaligus Kepala Staf Angkatan Bersenjata.
Baca juga: Bisikan Istri Ada Cakrabirawa, Jangan Keluar Selamatkan AH Nasution dari G-30-S
Pada masa itu, Pierre merupakan salah satu ajudan Jenderal Nasution yang selalu mendampingi dan akrab dengan keluarga Nasution.
Kedekatannya dengan keluarga Jenderal Nasution sampai-sampai Pierre turut bermukim di rumah petinggi TNI Angkatan Darat itu di Jalan Teuku Umar Nomor 40 di Menteng, Jakarta Pusat.
Pierre gugur bersama enam perwira tinggi TNI di Lubang Buaya, Jakarta. Namanya kemudian diangkat menjadi Pahlawan Revolusi.
Sejak kecil, pria kelahiran 21 Februari 1939 ini mempunyai cita-cita menjadi pengabdi bangsa dan negara sebagai tentara.
Akan tetapi, putra dari pasangan Aurelius Lammert Tendean asal Manado dan Maria Elizabeth Cornet, perempuan blasteran Indonesia-Perancis itu sempat menemui jalan terjal untuk mengggapai keinginannya menjadi tentara.
Sang ayah menginginkan supaya Pierre meneruskan jejaknya yang berprofesi sebagai dokter.
Begitu pun dengan ibunda yang berharap Pierre kelak menjadi seorang insinyur apabila tidak menjadi dokter.
Baca juga: Mengapa Terjadi Peristiwa G-30-S?
Ternyata, halangan tersebut tak membuat tekad Pierre beranjak.
Pada 1958, Pierre akhirnya menempuh pendidikan di Akademi Teknik Angkatan Darat (Atekad).
Di sini, ia ditempa bersama 155 prajurit lainnya sebagai taruna Atekad jurusan Zeni.
Brigjen (Purn) Muhammad Effendi Ritonga, kawan satu peleton dan barak selama pendidikan taruna mengenang Pierre sebagai sosok yang tampan.
Bahkan, para seniornya di Atekad menjuluki Pierre “Patona”.