“Pierre ini Indo, ganteng, jadi dikasih nama senior Patona. Patona artinya di bahasa Manado, pacaran,” kenang Ritonga, dikutip dari Program Singkap Kompas TV, Jumat (30/9/2022).
Baca juga: Profil 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur pada Peristiwa G-30-S
Menurut Ritonga, julukan “Patona” tersebut tak lepas karena ketampanan Pierre. Para senior meyakini bahwa ketampanan paras Pierre akan banyak perempuan yang jatuh hati padanya.
“Ya barangkali itu tadi, karena ganteng, handsome, senior-senior mereka lihat anak ini banyak cewe-cewe yang nyenengin (jatuh hati) dia barang kali itu, sehingga dibikin Patona-lah,” kata Ritonga.
Setelah melewati masa-masa pendidikan, Pierre akhirnya lulus dari Akademi Militer pada 1961 dengan pangkat letnan dua.
Setelah lulus dari Atekad, Pierre langsung mendapat tugas pertamanya sebagai Komandan Pleton Batalyon Zeni Tempur 2 Kodam II/Bukit Barisan, Sumatera Utara.
Di sinilah, Pierre bertemu dengan pujaan hatinya, Rukmini Chaimin. Keduanya banyak menghabiskan waktu untuk memperteguh asmara keduanya. Hal ini terlihat dari beberapa foto yang memotret keduanya.
Namun, karena Pierre mendapat tugas negara membuat keduanya harus menjalani hubungan jarak jauh.
Baca juga: Kondisi Jenazah 7 Pahlawan Revolusi, Tidak Seperti Narasi Orde Baru?
“Pierre ternyata disekolahkan sekolah intelijen di Bogor (Pusat Pendidikan Intelijen),” kata Ritonga.
“Waktu Dwikora itu banyak tugasnya intelijen, bahkan pernah masuk Singapura. Kebetulan orangnya enggak seperti asli orang Indonesia, dipercaya,” sambung Ritonga.
Setelah melewati pendidikan intelijen, Pierre dipercaya untuk memimpin pasukan sukarela gerilyawan ke negara federasi Malaysia.
Dia juga terlibat dalam operasi penyusupan dan sabotase.
Prestasi gemilangnya itu pun membuat karier Pierre melesat hingga dipinang Jendela AH Nasution untuk menjadi ajudannya.
Pada 30 September 1965, Pierre sedianya sudah mengajukan cuti libur untuk merayakan ulang tahun ibundanya, Maria Elizabeth Cornet, di Semarang, Jawa Tengah, pada keesokan harinya.
Namun, tugas sebagai ajudan yang cukup padat, pada pukul 15.00 WIB pun membuat Pierre masih bertahan di Jakarta.
Baca juga: Keliling Saksi Bisu G30S, Ada Museum yang Dulu Rumah Pahlawan Revolusi
Tak disangka bahwa hari itu menjadi hari terakhir Pierre bertugas sebagai ajudan.