JAKARTA, KOMPAS.com - Ada cerita getir sekaligus haru di Istana jelang pelengseran Abdurrahman Wahid dari kursi presiden oleh MPR, 23 Juli 2001 silam.
Ketika itu, dukungan politik bagi pemerintahan Gus Dur terus merosot. Koalisi Poros Tengah yang semula mengangkatnya menjadi presiden, kini balik menentang.
Gejolak timbul di mana-mana sebagai bagian dari proyek politik untuk melengserkan cucu Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari, pendiri Nahdlatul Ulama itu, dari tampuk kepemimpinan.
Keadaan memang bisa dibilang genting.
Pada 23 Juli 2001, hari ketika Gus Dur lengser dan wakilnya Megawati Soekarnoputri dilantik menggantikannya, moncong-moncong tank Kostrad di bawah komando Ryamizard Ryacudu disebut telah mengarah ke Istana selepas apel siaga pengamanan di kawasan Monas.
Baca juga: Surat Sakti Lurah Gambir yang Buat Gus Dur Tinggalkan Istana
Dulu, kejadian serupa pernah terjadi pada 17 Oktober 1952, ketika TNI AD menuntut Soekarno membubarkan parlemen.
Di zaman Gus Dur, tak hanya moncong tank yang dihadapi, gelombang pengunjuk rasa masih bertahan di sekitar Medan Merdeka.
Sementara itu, sedikitnya 3.000 santri dan pendukung Gus Dur dari Jawa Timur, sudah tiba di Jakarta.
"Ada sekitar berapa puluh ribu lainnya sedang dalam perjalanan ke Jakarta," ucap putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada, kepada Kompas.com beberapa waktu lalu.
Baca juga: Air Mata Gus Dur Mengalir sebelum Terbitkan Dekrit
Situasi terburuk yang dapat dibayangkan adalah bentrokan dan pertumpahan darah. Terlebih, dalam beberapa kasus kudeta di dunia, keselamatan presiden memang betul-betul terancam secara fisik, bukan hanya secara posisi.