Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr M Subhan SD
Direktur PolEtik Strategic

Direktur PolEtik Strategic | Founder Mataangindonesia Social Initiative | msubhansd.com | mataanginsaguling.com

Sebelum Demokrasi Terjungkal, Reformasilah Watak Bangsa

Kompas.com - 21/05/2022, 06:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

KEMENANGAN Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr dalam pemilihan presiden Filipina pertengahan Mei ini, menjadi alarm bagi demokrasi di Indonesia.

Belum genap empat dekade setelah people power yang menumbangkan sang ayah diktator Ferdinand Marcos Sr tahun 1986, dinasti Marcos kembali menguasai tampuk pemerintahan.

Terlepas telah bersekutu dengan dinasti Duterte (wapres terpilih Sara Duterte, putri Rodrigo Duterte presiden saat ini), kemenangan Bongbong sepertinya kekejaman pemerintahan Marcos (1965-1986) telah terlupakan.

Situasi mutakhir di negara tetangga itu sangat menarik mengingat hari-hari ini kita mengenang 24 tahun reformasi dan sekaligus 114 tahun kebangkitan nasional.

Setelah gerakan mahasiswa dan rakyat menumbangkan rezim Orde Baru tahun 1998, lalu apa yang dicapai saat ini?

Hari-hari ini ada suara-suara tetap menggelisahkan parahnya korupsi, kolusi, nepotisme, oligarki, yang dulu ingin digusur.

Ada kegelisahan tentang kenaikan harga-harga bahan pokok, yang dulu juga membuat orang berteriak saat krisis ekonomi.

Ada juga yang menggelisahkan kebebasan, supremasi hukum, dan demokrasi yang karut-marut, yang dulu ingin dikoreksi.

Dalam demokrasi, kegelisahan seperti itu sah-sah saja bahkan menjadi dinamika demokrasi.

Sekadar menyegarkan kembali ingatan kolektif, beberapa agenda reformasi perlu kita tandai, antara lain peradilan Soeharto beserta kroni-kroninya, amandemen UUD 1945, hapus dwifungsi ABRI, berlakukan otonomi daerah seluas-luasnya, penegakan supremasi hukum, dan hapuskan KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).

Memang masih banyak agenda reformasi yang belum tuntas, tetapi kita tak bisa menutup mata terhadap kemajuan-kemajuan yang dicapai selama reformasi.

Masa Transisi

Ketika terjadi transisi dari Orde Baru ke Orde Reformasi, ada tiga perubahan mendasar, yaitu transisi sistem politik otoriter menuju sistem demokratis, transisi dari sistem ekonomi kapitalisme perkoncoan dan patron-klien menuju sistem ekonomi pasar, dan transisi dari sistem sosial-politik-ekonomi yang sentralistik menjadi sistem desentralistik (Tadjoeddin, Anatomi Kekerasan Sosial dalam Konteks Transisi, 2002).

Karena itu, suasana dan kondisi era reformasi sangat jauh berbeda dengan era Soeharto.
Sejumlah agenda reformasi sesuai yang dicita-citakan, bahkan bergerak kebablasan.

Amandeman konstitusi bahkan sudah empat kali sepanjang 1999-2002. Otonomi daerah malah bergerak kian liar, tak peduli dengan kondisi daerah benar-benar layak atau tidak.

Sejak digulirkan otonomi daerah, jumlah daerah otonom telah berkembang pesat dari 319 daerah pada 1999 menjadi setidaknya 548 daerah (416 Kabupaten, 98 Kota, dan 34 provinsi).

Itu pun sempat diberlakukan moratorium dan pengetatan penerapan otonomi. Tetapi, ini menunjukkan reformasi menghapus politik yang sentralistik.

Kasus Soeharto walau dihentikan, tetapi salah satu kasus yayasannya, yaitu Supersemar terus bergulir.

Sejak reformasi, demokrasi bermekaran di musim hujan. Tiada lagi politik otoriter yang menakutkan.

Rakyat bebas bersuara dan berpendapat. Rakyat bebas berkumpul, menggelar demonstrasi. Ada satire, bahwa di zaman Orde Baru ada lima orang berkumpul dapat ditangkap.

Zaman sekarang orang berdemonstrasi ratusan ribu hingga jutaan jumlahnya dan menentang pemerintah pun terjadi bukan sekali atau dua kali. Itulah buah reformasi yang membuat demokrasi tumbuh subur.

Namun, pihak-pihak yang berseberangan secara politik berpendapat bahwa sekarang kembali rezim otoriter bahkan totaliter.

Supremasi hukum dinilai tak berdaya, karena kekuasaan yang menjadi pegangan. Kita tak mengenal oposisi, tetapi fungsi oposisi bahkan disampaikan secara kasar pun menjadi tontotan biasa.

Dalam ekosistem digital dengan rezim media sosial (medsos), demokrasi malah makin kusut. Bukan lagi kritik, melainkan cercaan, fitnah, kebohongan yang menguasai arena politik.

Kalau dicermati, mereka yang terkena kasus hukum adalah mereka terjerat kasus kebencian, berita bohong, fitnah.

Di sisi lain, banyak para pengkriitik yang masih bebas berpendapat. Mereka menyampaikannya sesuai aturan main dan cara-cara yang tidak merendahkan.

Kritik sejatinya untuk memperbaiki keadaan, bukan menjatuhkan orang apalagi merusak tatanan.

Anehnya tidak sedikit para politikus justru tergiur dalam tetabuhan irama medsos, bukan mengerahkan totalitas dirinya melalui saluran-saluran resmi.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Momen Menarik di WWF Ke-10 di Bali: Jokowi Sambut Puan, Prabowo Dikenalkan sebagai Presiden Terpilih

Nasional
Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Perkenalkan Istilah ‘Geo-cybernetics’, Lemhannas: AI Bikin Tantangan Makin Kompleks

Nasional
Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Megawati Disebut Lebih Berpeluang Bertemu Prabowo, Pengamat: Jokowi Akan Jadi Masa Lalu

Nasional
Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Laporkan Dewas ke Bareskrim, Wakil Ketua KPK Bantah Dirinya Problematik

Nasional
Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Kolaborasi Pertamina–Mandalika Racing Series Dukung Pembalap Muda Bersaing di Kancah Internasional

Nasional
Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Harkitnas, Fahira Idris Tekankan Pentingnya Penguasaan Iptek untuk Capai Visi Indonesia Emas 2045

Nasional
Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Sempat Sebut Lettu Eko Meninggal karena Malaria, Dankormar: Untuk Jaga Marwah Keluarga

Nasional
Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Yasonna Berharap Program PPHAM Dilanjutkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Di WWF 2024, Jokowi Ajak Semua Pihak Wujudkan Tata Kelola Air yang Inklusif dan Berkelanjutan

Nasional
KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

KSP Sebut Bakal Pertimbangkan Nama-nama Pansel KPK Rekomendasi ICW

Nasional
Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Kementan Rutin Kirim Durian Musang King, SYL: Keluarga Saya Tak Suka, Demi Allah

Nasional
Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Jokowi-Puan Bertemu di WWF 2024, Pengamat: Tidak Akan Buat Megawati Oleng

Nasional
56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

56.750 Jemaah Haji Tiba di Madinah, 6 Orang Dikabarkan Wafat

Nasional
Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Ingatkan Soal Kuota Haji Tambahan, Anggota DPR: Jangan Sampai Dipanggil KPK

Nasional
Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

Laporkan Dewas ke Polisi, Nurul Ghufron Sebut Sejumlah Pegawai KPK Sudah Dimintai Keterangan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com