Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Bupati Langkat: Dari Suap hingga Kerangkeng Manusia

Kompas.com - 07/02/2022, 07:32 WIB
Irfan Kamil,
Bagus Santosa

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Bupati nonaktif Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin tengah menghadapi dua kasus sekaligus.

Pertama, Terbit diduga terlibat suap kegiatan pekerjaan pengadaan barang dan jasa tahun 2020-2022 di Kabupaten Langkat. Kedua, Bupati Langkat itu diduga melakukan kejahatan lain berupa perbudakan terhadap puluhan manusia.

Nama Terbit mencuat ke publik ketika Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan kegiatan tangkap tangan pada Selasa (18/1/2022) malam.

Meski sempat kabur, Terbit akhirnya menyerahkan diri. Dalam kegiatan tangkap tangan tersebut, tim KPK mengamankan uang Rp 786 juta.

Baca juga: Besok, Bupati Langkat Diperiksa Komnas HAM Terkait Kerangkeng Manusia

KPK pun mengumumkan Terbit sebagai tersangka kasus suap di Langkat bersama kakaknya, Kepala Desa Balai Kasih, Iskandar PA dan pihak swasta, yaitu Muara Perangin-Angin, Marcos Surya Abdi, Shuhanda Citra, dan Isfi Syahfitra.

Di tengah kasus suap yang tengah diusut KPK, kini Terbit juga harus menjalani pemeriksaan setelah kerangkeng manusia di rumahnya terungkap.

Diungkap Migrant Care

Kerangkeng di rumah Terbit Rencana Perangin-Angin diduga digunakan untuk modus perbudakan pekerja sawit.

Dugaan itu diungkap oleh Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat, Migrant Care, yang menerima laporan adanya kerangkeng manusia serupa penjara (dengan besi dan gembok) di dalam rumah bupati tersebut.

"Kerangkeng penjara itu digunakan untuk menampung pekerja mereka setelah mereka bekerja. Dijadikan kerangkeng untuk para pekerja sawit di ladangnya," ujar Ketua Migrant Care Anis Hidayah kepada wartawan, Senin.

"Ada dua sel di dalam rumah bupati yang digunakan untuk memenjarakan sebanyak 40 orang pekerja setelah mereka bekerja," tambahnya.

Anis menyebutkan, jumlah pekerja itu kemungkinan besar lebih banyak daripada yang saat ini telah dilaporkan.

Mereka disebut bekerja sedikitnya 10 jam setiap harinya. Setelah dimasukkan ke kerangkeng selepas kerja, mereka tidak memiliki akses untuk ke mana-mana dan hanya diberi makan dua kali sehari secara tidak layak.

"Mereka tentu tidak punya akses komunikasi dengan pihak luar. Mereka mengalami penyiksaan, dipukul, lebam, dan luka," ujar Anis.

"Selama bekerja mereka tidak pernah menerima gaji," ungkapnya.

Didalami Komnas HAM

Terkait kasus ini, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mendalami dugaan perbudakan yang dialami oleh korban kerangkeng manusia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com