JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi X DPR Hetifah Sjaifudian berpandangan, perlu ada jaminan agar korban kekerasan seksual yang mengalami pemaksaan tidak turut dihukum sebagai pelaku tindakan asusila.
Menurut Hetifah, hal itu telah tertuang pada Peraturan Menteri Pendidkan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Pemendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Lingkungan Perguruan Tinggi dengan adanya frasa 'tanpa persetujuan korban'.
"Formulasi 'tanpa persetujuan korban' itu kan sebetulnya bertujuan untuk menjamin bahwa korban tidak akan turut mengalami sanksi dari kampus setelah mengalami pemaksaan oleh pelaku kekerasan seksual, sehingga korban pun merasa aman dan bebas untuk mengadukan kasusnya," kata Hetifah dalam keterangan tertulis, Kamis (11/11/20221).
Hal ini disampaikan Hetifah merespons kekhawatiran sejumlah pihak mengenai kemungkinan permendikbud ini meningkatkan perilaku seks bebas di kampus.
Politikus Partai Golkar itu meyakini bahwa setiap kampus telah memiliki tata tertib yang mengatur sanksi untuk perbuatan zina dan tindak asusila.
Ia pun mendorong agar pengaturan terhadap tindak asusila dalam tata tertib kampus ditegakkan semakin tegas, tetapi pada saat bersamaan perlu ada jaminan bahwa korban kekerasan seksual tidak akan dihukum sebagai pelaku tindakan asusila.
Hetifah justru menyarankan agar ada hukuman ganda yang dijatuhkan bagi pelaku tindak asusila sekaligus kekerasan seksual.
“Hukumannya perlu diperberat, tidak hanya sebagai pelaku tindak asusila atau zina melainkan juga sebagai pelaku kekerasan seksual," ujar dia.
Hetifah menegaskan, dirinya mendukung adanya beleid ini. Ia menyayangkan kekisruhan yang timbul terhadap permendikbud tersebut karena perbedaan persepsi.
Untuk itu, ia mendorong Kemendikbud Ristek untuk menyosialisasikan permendikbud itu dengan lebih baik untuk mencegah terjadinya multitafsir.
Baca juga: Puluhan Akademisi Dukung Permendikbud soal Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
"Padahal kita sedang berbenah agar kampus menjadi tempat yang aman dan kondusif. Jangan sampai kekisruhan ini menjadikan upaya ini mengalami kemunduran dan bahkan terhambat," kata Hetifah.
Sebelumnya, Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti), Kemendikbud Ristek, Nizam menegaskan, beleid ini sama sekali tidak melegalkan seks bebas.
Ia menjelaskan, “consent” dalam isi beleid tersebut merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait suatu tindak kekerasan.
“Dalam KBBI kekerasan adalah sesuatu yang dipaksakan, ada unsur pemaksaan. Jadi kata consent tersebut dalam konteks unsur pemaksaan tadi. Sama sekali tidak ada dalam pikiran kami untuk melegalkan perzinaan,” kata Nizam, Rabu (10/11/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.