JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menerbitkan Peraturan Mendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi pada 31 Agustus 2021.
Aturan ini dibuat agar menjadi landasan hukum bagi petinggi perguruan tinggi dalam mencegah dan menangani kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.
“Selama ini tidak ada payung hukum bagi pencegahan dan penindakan atas kejahatan atau kekerasan seksual yang terjadi di kampus-kampus kita,” kata Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek Nizam, kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).
Di dalam beleid ini yang dimaksud ranah kekerasan seksual mencakup tindakan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, fisik, serta melalui teknologi informasi dan komunikasi.
Dalam Pasal 5, setidaknya dicatat ada 21 bentuk kekerasan seksual yang secara tegas diatur dalam aturan tersebut.
Baca juga: Puluhan Akademisi Dukung Permendikbud soal Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Beberapa di antaranya berupa melakukan tindakan kekerasan seksual yang tidak mendapatkan persetujuan (consent) korban.
Kemudian, tindakan diskriminasi atau pelecehan yang berintensi seksual, baik melalui ujaran, tatapan, ataupun virtual.
Selanjutnya, tindakan memaksa serta memperdayai atau memanupulasi korban untuk melakukan aktivitas seksual hingga melakukan abrosi.
Berikut ini 21 bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam Permendikbud Ristek 30/2021:
1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender korban;
2. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban;
3. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan yang bernuansa seksual pada korban;
4. Menatap korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman;
5. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video bernuansa seksual kepada korban meskipun sudah dilarang korban;
6. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban;