KARIR politik Ganjar Pranowo sudah berada dalam track yang semestinya. Beliau pernah lama di Senayan yang berarti sangat paham lika-liku pembuatan perundang-undangan alias legislating procces.
Di sisi lain, jika ditarik maju ke tahun 2024, maka sudah 10 tahun beliau menjabat Gubernur Jawa Tengah, yang juga berarti sudah sepuluh tahun pengalaman mengorkestrasi dan mengeksekusi kebijakan alias berada di sayap eksekutif di dalam arsitektur Trias Politica.
Jadi sangat wajar jika banyak pihak yang mengaitkan dia dengan panggung pemilihan presiden 2024. Ke mana lagi arahnya kalau bukan ke sana?
Baca juga: Poros Prabowo-Puan Minta PDI-P dan Gerindra Segera Bersikap soal Pilpres 2024
Menjadi presiden, bagaimanapun, adalah cita-cita teknis tertinggi dari setiap politisi. Karena jika sampai ke posisi itu, semua isi kepala, ideologi, dan ide-ide pengabdian plus perjuangan seorang politisi menjadi sangat berpeluang untuk diwujudkan.
Jika sebelumnya hanya bisa diwujudkan di level provinsi, dengan segala keterbatasan wewenang, maka dengan pindah ke istana tentu itu semua bisa diwujudkan di tingkat nasional dengan penerima manfaat yang lebih luas.
Jadi dalam konteks idealitas politik, tak ada yang salah dengan keinginan para pendukung Ganjar untuk melihat politisi idolanya tersebut pindah ke istana.
Justru aneh jika pendukungnya menyuarakan sebaliknya, alias menyuarakan agar Ganjar pensiun saja di tahun 2024.
Aspirasi maju ke pentas pilpres semacam itu bukan hanya milik pendukung Ganjar. Pendukung Anies Baswedan, Ridwan Kamil, atau Risma juga menyuarakan hal yang sama untuk politisi idola mereka.
Baca juga: Kata Ridwan Kamil di Munas PPP, soal Maju Pilpres 2024: Kalau Pintu Terbuka Ya Tidak Menolak
Jadi sampai pada tahap ini, Ganjar berada dalam tahap "wajar politik" dan juga tidak berdiri berseberangan dengan kehendak sejarah.
Jika pun Ganjar secara personal, katakanlah di dalam hati, memang menginginkan untuk menjadi presiden, itupun sangat manusiawi dan wajar karena memang itulah jalur politik linear yang terentang di atas aspal karir politik seorang politisi.
Kemudian dalam kenormalan politik itu, jika proyeksi perjalanan politik Ganjar kemudian terlihat mulai berserangan dengan partai yang membesarkannya, PDIP, itu pun menurut saya wajar-wajar saja.
Dalam kacamata demokrasi intrapartai (interparty democracy), kemunculan satu nama sebagai calon tunggal di dalam konvensi partai justru aneh.
Di Amerika Serikat dalam satu partai bahkan bisa muncul nama lebih dari lima, untuk kemudian digodok di dalam proses konvensi.
Dari sekian banyak nama di dalam Partai Republik Amerika tahun 2015, misalnya, tak ada yang menduga Donald Trump akan menjadi pemenang di babak final konvensi.
Begitu pula dengan Joe Biden, yang nyaris kurang dijagokan, baik karena faktor umur maupun karena ketidakterlibatan beliau dalam konvensi saat masih jadi wakil presiden.