Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

September 1965 dan Kisah Orang-orang Buangan...

Kompas.com - 11/09/2021, 07:12 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

“Memulung bagian dari hidup saya.
Kenalilah dirimu, pemulung adalah kenikmatan abadi”

(Soesilo Toer, PhD)

Tidak ada yang menyangka, pria tua yang mengais-ngais sampah di seputaran Kota Blora, Jawa Tengah itu adalah sosok berpendidikan tinggi. Bahkan sangat “tinggi” di era-nya.

Lelaki renta berusia 84 tahun itu terlihat sibuk memilah-milah sampah yang dibuang warga. Barangkali di antara tumpukan sampah itu ada barang yang masih bisa digunakan. 

Motor butut dan keranjang untuk menampung hasil buruannya setia menemani Soesilo menjelajah sudut-sudut kota Blora.

Baca juga: Kisah Soesilo Toer, Adik Pramoedya Ananta Toer yang Bergelar Doktor dan Kini Jadi Pemulung (1)

Mungkin bagi orang lain, sampah itu yah sampah. Tidak ada kegunaannya lagi. Tetapi bagi alumni S-3 bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet itu sampah ibarat bongkahan emas. Bisa untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. 

Nama lengkapnya Soesilo Toer. Hanya adik kandung satrawan Pramoedya Ananta Toer dan pernah menuntut ilmu di Uni Soviet di masa revolusi “bersiap”, ia harus hidup dalam kesenyapan.

Mahasiswa-mahasiwa program ikatan dinas pengiriman era Soekarno di paruh 1961-1965 awal, seperti halnya Soesilo Toer, mengalami tragedi kemanusian yang sangat tragis.

Setiap September saya selalu teringat dengan puluhan narasumber penelitian disertasi saya yang hidup terserak di mancanegara dan di negeri sendiri. Mengingat rata-rata usianya sekarang sudah menginjak 80 tahunan, jumlahnya kian tahun semakin berkurang.

Peristiwa 1965 yang terjadi di penghujung September, selalu mengingkatkan akan penculikan petinggi-petinggi TNI AD yang berdampak luas terhadap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jutaan korban nyawa karena perbedaan politik, penggulingan kekuasaan Soekarno dengan skema Supersemar, penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa proses peradilan yang benar, perampasan harta dan perkosaan serta labeling dan stigma “kiri” atau komunis serta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terus dipertahankan lestari menjadi kisah sejarah yang harus diketahui generasi mendatang dengan fair dan transparan.

Tak mengakui Orde Baru

Data yang saya kumpulkan hingga 2007 saat memulai penelitian disertasi doktoral saya ke beberapa negara Eropa, China, Korea Utara dan hampir ke seluruh pelosok tanah air, ada sekitar 2.000 mahasiswa yang tengah berada di luar negeri saat Peristiwa 1965 terjadi.

Loyal terhadap Soekarno, sebagian kecil pro PKI, mereka ogah mengakui rezim Soeharto. Konsekuensinya, paspor para mahasiswa ikatan dinas ini tidak bisa diperpanjang.

Jadilah mereka stateless alias tidak memiliki berkewarganegaraan. Tunjangan biaya hidup pun dihentikan.  Keluarga di tanah air diawasi oleh aparat. Surat-surat yang mereka kirim kepada sanak saudara dan kerabat di tanah air disensor dan dirampas aparat.

Ada yang kembali dengan “selamat” ke tanah air setelah melalui screening ketat. Yang tidak “bersih diri” seperti Soesilo Toer harus mendekam di penjara. Soesilo dianggap "tidak bersih" karena bersaudara kandung dengan Pramoedya Ananta Toer.

Kajian keilmuan politik dan ekonomi yang dipelajari Soesilo di Uni Soviet, dianggap Orde Baru bisa mengganggu stabilitas dan keamanan saat itu.

Sudah galib di masa Soeharto berkuasa, dosa sebagai kaum “kiri” ditimpakan baik ke garis keturunan atas, bawah, samping kanan dan kiri. 

Baca juga: Film G30S/PKI dan Beda Cara Setiap Pemerintah Sikapi Peristiwa 1965...

Usai menempuh pendidikannya di pascasarjana University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Plekhanov, Soesilo yang sampai sekarang masih fasih berbahasa Rusia, Jerman, Belanda dan Inggris ini kembali ke tanah airnya pada 1973.

Begitu menginjakkan kaki di Bandara Kemayoran, Jakarta, ia langsung ditangkap aparat dan dihukum penjara tanpa persidangan (Kompas.com, 4 Juni 2018).

Berbeda dengan Pramoedya yang ditahan selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru, Soesilo yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan IKIP Jakarta ini “hanya” mendekam selama 6 tahun di penjara.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com