Melalui Perancis, akhirnya Genong tiba di Achen sekitar 1974. Ia melakoni semua jenis pekerjaan untuk menyambung hidup. Mulai dari tukang cat, tukang kebun, pegawai pabrik kertas hingga pekerja pabrik pengolahan kopi.
Hidupnya tidak tenang karena ia pendatang haram.
Dari Achen ia pindah ke Munich lalu menetap di Berlin Barat usai permintaan suaka politiknya dikabulkan pemerintah Jerman Barat. Di Berlin kehidupan mulai membaik.
Semuanya gara-gara majalah Einigkleit edisi Mei 1977 terbitan Jerman Barat yang memberitakan kekerasan politik di Indonesia yang menimpa aktivis Gerwani. Tulisan itu antara lain menceritakan tentang kakak kandung Genong, Kartina Kurdi, yang ditahan selama 13 tahun tanpa proses peradilan di Penjara Bukit Duri, Jakarta.
Genong meninggal pada 2008. Sepanjang hidupnya, ia yang berkewarganegaraan Jerman, begitu merindukan kampung halamannya, Yogyakarta.
Pertemuan saya terakhir dengannya di Berlin 2007 silam menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Dia begitu antusias mendengar cerita saya mengenai Yogyakarta. Genong menjadi begitu asing dengan Yogya dan tanah airnya Indonesia yang begitu dirindukan hingga akhir hayatnya.
Hingga hari ini, peristiwa di sekitaran 1965 menjadi memori sejarah bangsa yang begitu kelam dan selalu menarasikan kebenaran tunggal. Sudah menjadi tekad bersama bahwa komunisme dan segala ajarannya adalah hal yang terlarang di bumi Pancasila ini.
Sejarah memang ditentukan oleh pemenang. Namun, kisah sejarah tidaklah obyektif jika hanya ditulis oleh pemenang.
Baca juga: Megawati: Tak Bisakah Sejarah 1965 Diluruskan Kembali?
Agar perjalanan bangsa ke depan menanggalkan dendam kesumat yang tiada habisnya termasuk ke cucu cicit canggah atau generasi mendatang, akan lebih elok jika rekonsiliasi menjadi kata kunci dari penyelesaian-penyelesain kasus lama termasuk Tragedi 1965.
Memaafkan konflik masa lalu diharapkan mampu menjadi perekat bagi para pelaku sejarah, termasuk keturunannya.
Kita juga harus mulai menyadari, pendidikan sejarah kita tidak mengakomodasi kesadaran dan praksis kelompok marginal untuk memberikan alternatif penafsiran atas peristiwa-peristiwa bersejarah.
Timor Leste yang kini sudah mengenyam kemerdekaan dan pernah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia saja bisa menerima rekonsiliasi, kenapa kita tidak membuka lembar “rekonsiliasi” dengan kakek-nenek renta yang kini tinggal menunggu hitungan hari untuk berpulang?
Nanti Mas, ketika kau akan memasuki pesawat itu.
Di anak tangga terakhir, kau lihat ke belakang.
Ke arahku.
Itu untuk aku.
Aku tak peduli sekarang kau berpisah-pisahan dengan seribu sahabatmu.
Tapi pandangan terakhir sebelum masuk ke dalam pesawat, aku tahu.
Itu untuk aku.
Puisi yang ditulis seorang gadis di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta awal September 1965 ini ditujukan untuk seorang kekasihnya yang akan berangkat ke Peking sebagai anggota delegasi resmi Pemerintah Indonesia yang menghadiri Peringatan Hari Nasional Tiongkok.
Tak ada yang tahu, tatapan di tangga pesawat itu adalah tatapan terakhir. Si Pemuda tidak pernah kembali untuk memenuhi ikrar sucinya, menikahi gadis pembuat puisi.
Gonjang-ganjing situasi politik di Tanah Air dan gejolak revolusi kebudayaan di Tiongkok membuat pemuda itu terdampar di negeri orang hingga akhir hayatnya. Tubuhnya berkalang tanah dengan nisan tanpa nama di salah satu sudut negeri itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.