Salin Artikel

September 1965 dan Kisah Orang-orang Buangan...

“Memulung bagian dari hidup saya.
Kenalilah dirimu, pemulung adalah kenikmatan abadi”

(Soesilo Toer, PhD)

Tidak ada yang menyangka, pria tua yang mengais-ngais sampah di seputaran Kota Blora, Jawa Tengah itu adalah sosok berpendidikan tinggi. Bahkan sangat “tinggi” di era-nya.

Lelaki renta berusia 84 tahun itu terlihat sibuk memilah-milah sampah yang dibuang warga. Barangkali di antara tumpukan sampah itu ada barang yang masih bisa digunakan. 

Motor butut dan keranjang untuk menampung hasil buruannya setia menemani Soesilo menjelajah sudut-sudut kota Blora.

Mungkin bagi orang lain, sampah itu yah sampah. Tidak ada kegunaannya lagi. Tetapi bagi alumni S-3 bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet itu sampah ibarat bongkahan emas. Bisa untuk menyambung hidupnya dan keluarganya. 

Nama lengkapnya Soesilo Toer. Hanya adik kandung satrawan Pramoedya Ananta Toer dan pernah menuntut ilmu di Uni Soviet di masa revolusi “bersiap”, ia harus hidup dalam kesenyapan.

Mahasiswa-mahasiwa program ikatan dinas pengiriman era Soekarno di paruh 1961-1965 awal, seperti halnya Soesilo Toer, mengalami tragedi kemanusian yang sangat tragis.

Setiap September saya selalu teringat dengan puluhan narasumber penelitian disertasi saya yang hidup terserak di mancanegara dan di negeri sendiri. Mengingat rata-rata usianya sekarang sudah menginjak 80 tahunan, jumlahnya kian tahun semakin berkurang.

Peristiwa 1965 yang terjadi di penghujung September, selalu mengingkatkan akan penculikan petinggi-petinggi TNI AD yang berdampak luas terhadap sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Jutaan korban nyawa karena perbedaan politik, penggulingan kekuasaan Soekarno dengan skema Supersemar, penangkapan dan penahanan semena-mena tanpa proses peradilan yang benar, perampasan harta dan perkosaan serta labeling dan stigma “kiri” atau komunis serta Partai Komunis Indonesia (PKI) yang terus dipertahankan lestari menjadi kisah sejarah yang harus diketahui generasi mendatang dengan fair dan transparan.

Tak mengakui Orde Baru

Data yang saya kumpulkan hingga 2007 saat memulai penelitian disertasi doktoral saya ke beberapa negara Eropa, China, Korea Utara dan hampir ke seluruh pelosok tanah air, ada sekitar 2.000 mahasiswa yang tengah berada di luar negeri saat Peristiwa 1965 terjadi.

Loyal terhadap Soekarno, sebagian kecil pro PKI, mereka ogah mengakui rezim Soeharto. Konsekuensinya, paspor para mahasiswa ikatan dinas ini tidak bisa diperpanjang.

Jadilah mereka stateless alias tidak memiliki berkewarganegaraan. Tunjangan biaya hidup pun dihentikan.  Keluarga di tanah air diawasi oleh aparat. Surat-surat yang mereka kirim kepada sanak saudara dan kerabat di tanah air disensor dan dirampas aparat.

Ada yang kembali dengan “selamat” ke tanah air setelah melalui screening ketat. Yang tidak “bersih diri” seperti Soesilo Toer harus mendekam di penjara. Soesilo dianggap "tidak bersih" karena bersaudara kandung dengan Pramoedya Ananta Toer.

Kajian keilmuan politik dan ekonomi yang dipelajari Soesilo di Uni Soviet, dianggap Orde Baru bisa mengganggu stabilitas dan keamanan saat itu.

Sudah galib di masa Soeharto berkuasa, dosa sebagai kaum “kiri” ditimpakan baik ke garis keturunan atas, bawah, samping kanan dan kiri. 

Usai menempuh pendidikannya di pascasarjana University Patrice Lumumba dan doktor dari Institut Plekhanov, Soesilo yang sampai sekarang masih fasih berbahasa Rusia, Jerman, Belanda dan Inggris ini kembali ke tanah airnya pada 1973.

Begitu menginjakkan kaki di Bandara Kemayoran, Jakarta, ia langsung ditangkap aparat dan dihukum penjara tanpa persidangan (Kompas.com, 4 Juni 2018).

Berbeda dengan Pramoedya yang ditahan selama 4 tahun di Nusakambangan dan 10 tahun di Pulau Buru, Soesilo yang pernah menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) dan IKIP Jakarta ini “hanya” mendekam selama 6 tahun di penjara.

Selepas penjara

Selepas dari penjara, stigma sebagai komunis membuat hidup Soesilo terkucil dan dibenci warga sekitar.

Selain terus mendapat pengawasan dari aparat keamanan, Soesilo juga sulit mendapat pekerjaan. Untuk menyambung hidup, ia terpaksa bekerja serabutan.

Tidak hanya Soesilo, adik-adik Pramoedya yang lain seperti Prawito Toer dan Koesalah Soebagyo Toer juga dijebloskan ke penjara karena dituding antek komunis.

Hanya Soesetyo Toer yang berhasil selamat dari tangkapan aparat karena kabur ke Papua. Berganti identitas dan melupakan keluarga menjadi cara aman dari kejaran aparat.

Saat saya mengunjungi Soesilo Toer beberapa tahun lalu – dan kembali saya cross check ke mahasiswa saya yang menjadi wartawan lokal di Blora sebelum tulisan kolom ini saya buat – Soesilo sampai sekarang masih melakoni pekerjaan rutinnya: memulung sampah. 

Sampah yang diperolehnya dipilah-pilah. Ada yang laku dijual dan ada yang untuk pakan ternaknya. Selain kambing, penulis 20 buku ini juga memelihara ayam di pekarangan rumah.

Dari sampah yang dikumpulkannya itu, Soesilo mendapat penghasilan Rp 600 ribu saban bulannya.

Menempati rumah kuno di Jalan Sumbawa Nomor 40 Jetis, Blora, Jawa Tengah, peninggalan Mastoer – Siti Saidah, orang tuanya itu, Soesilo mendirikan Perpustakaan Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa atau PATABA.

Ia memiliki koleksi 5 ribu judul buku. Ia ingin penikmat buku bisa meresapi gagasan-gagasan Pramoedya Ananta Toer. Buku-buku Pramoedya yang  yang kesohor hingga mancanegara antara lain Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa, Rumah Kaca, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu.

Kisah Genong Karsono

Setiap September saya selalu teringat mendiang Genong Karsono, pensiunan juru masak penjara di Berlin, Jerman. Ia adalah aktivis Pemuda Rakyat, organisasi mantel atau onderbow Partai Komunis Indonesia (PKI).

Empat tahun sebelum Tragedi 1965 pecah, usai menyelesaikan sarjana ekonominya di Universitas Res Publica (kini Universitas Trisakti, Jakarta) Genong mendapat beasiswa pascasarjana di Uni Soviet. Istrinya tidak ikut pergi ke Soviet.

Ketika Peristiwa 1965 meletus dan merembet ke berbagai daerah, istrinya di Tanah Air terbunuh karena dianggap simpatisan PKI. Ayah Genong dan Kakak Genong, Kartina Kurdi, dibekuk aparat. 

Ayah Genong adalah aktivis PKI yang punya kelompok kesenian ketoprak. Sementara, Kartina Kurdi adalah Sekretaris Jenderal Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani), onderbow PKI yang luas jaringannya di kalangan perempuan.

Pasca Peristiwa 1965, polarisasi mulai terjadi dalam komunitas aktivis anti Orde Baru yang mukim di Uni Soviet.

Pemerintah Uni Soviet saat itu bersikap “abu-abu” tetapi lebih condong berpihak ke rezim Soeharto. Mahasiswa yang menempuh pendidikan di Uni Soviet mulai hijrah ke Tiongkok mengingat sikap pemerintah Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang tetap mendukung Soekarno dan PKI.

Yang tetap bertahan di Uni Soviet adalah mereka yang pendidikannya belum tuntas termasuk Genong.

Setelah menyelesaikan pendidikan masternya, Genong menyusul teman-temannya ke Peking. Namun nasib rupanya kurang berpihak kepada Genong.

Keterbatasan informasi saat itu membuat Genong tidak tahu kalau RRT tengah dilanda revolusi kebudayaan. Bersama eksil dari Indonesia lainnya, Genong diisolasi di daerah pedalaman dengan alasan pemerintah RRT ingin menjamin keselamatan tamu-tamu dari Indonesia.

Masa "isolasi" tersebut berlangsung lama, 8 tahun.

Kehidupan yang susah di RRT membuat Genong mulai berpikir untuk hengkang keluar dari Tiongkok.

Kembali ke tanah air bukan pilihan yang tepat. Dari informasi yang didapat, Jerman Barat adalah surganya para pelarian politik. Pemerintah Jerman Barat ketika itu (saat masih terpisah dengan Jerman Timur) sangat terbuka dan menjunjung tinggi penghormatan terhadap jaminan hak asasi manusia.

Melalui Perancis, akhirnya Genong tiba di Achen sekitar 1974. Ia melakoni semua jenis pekerjaan untuk menyambung hidup. Mulai dari tukang cat, tukang kebun, pegawai pabrik kertas hingga pekerja pabrik pengolahan kopi.

Hidupnya tidak tenang karena ia pendatang haram. 

Dari Achen ia pindah ke Munich lalu menetap di Berlin Barat usai permintaan suaka politiknya dikabulkan pemerintah Jerman Barat. Di Berlin kehidupan mulai membaik. 

Semuanya gara-gara majalah Einigkleit edisi Mei 1977 terbitan Jerman Barat yang memberitakan kekerasan politik di Indonesia yang menimpa aktivis Gerwani. Tulisan itu antara lain menceritakan tentang kakak kandung Genong, Kartina Kurdi, yang ditahan selama 13 tahun tanpa proses peradilan di Penjara Bukit Duri, Jakarta.

Genong meninggal pada 2008. Sepanjang hidupnya, ia yang berkewarganegaraan Jerman, begitu merindukan kampung halamannya, Yogyakarta. 

Pertemuan saya terakhir dengannya di Berlin 2007 silam menjadi kenangan yang tidak terlupakan. Dia begitu antusias mendengar cerita saya mengenai Yogyakarta. Genong menjadi begitu asing dengan Yogya dan tanah airnya Indonesia yang begitu dirindukan hingga akhir hayatnya.

Rekonsiliasi untuk mendamaikan sejarah

Hingga hari ini, peristiwa di sekitaran 1965 menjadi memori sejarah bangsa yang begitu kelam dan selalu menarasikan kebenaran tunggal. Sudah menjadi tekad bersama bahwa komunisme dan segala ajarannya adalah hal yang terlarang di bumi Pancasila ini.

Sejarah memang ditentukan oleh pemenang. Namun, kisah sejarah tidaklah obyektif jika hanya ditulis oleh pemenang.  

Agar perjalanan bangsa ke depan menanggalkan dendam kesumat yang tiada habisnya termasuk ke cucu cicit canggah atau generasi mendatang, akan lebih elok jika rekonsiliasi menjadi kata kunci dari penyelesaian-penyelesain kasus lama termasuk Tragedi 1965.

Memaafkan konflik masa lalu diharapkan mampu menjadi perekat bagi para pelaku sejarah, termasuk keturunannya.

Kita juga harus mulai menyadari, pendidikan sejarah kita tidak mengakomodasi kesadaran dan praksis kelompok marginal untuk memberikan alternatif penafsiran atas peristiwa-peristiwa bersejarah.

Timor Leste yang kini sudah mengenyam kemerdekaan dan pernah menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia saja bisa menerima rekonsiliasi, kenapa kita tidak membuka lembar “rekonsiliasi” dengan kakek-nenek renta yang kini tinggal menunggu hitungan hari untuk berpulang?

Nanti Mas, ketika kau akan memasuki pesawat itu.
Di anak tangga terakhir, kau lihat ke belakang.
Ke arahku.
Itu untuk aku.

Aku tak peduli sekarang kau berpisah-pisahan dengan seribu sahabatmu.
Tapi pandangan terakhir sebelum masuk ke dalam pesawat, aku tahu.
Itu untuk aku.

Puisi yang ditulis seorang gadis di Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta awal September 1965 ini ditujukan untuk seorang kekasihnya yang akan berangkat ke Peking sebagai anggota delegasi resmi Pemerintah Indonesia yang menghadiri Peringatan Hari Nasional Tiongkok.

Tak ada yang tahu, tatapan di tangga pesawat itu adalah tatapan terakhir. Si Pemuda tidak pernah kembali untuk  memenuhi ikrar sucinya, menikahi gadis pembuat puisi.

Gonjang-ganjing situasi politik di Tanah Air dan gejolak revolusi kebudayaan di Tiongkok membuat pemuda itu terdampar di negeri orang hingga akhir hayatnya. Tubuhnya berkalang tanah dengan nisan tanpa nama di salah satu sudut negeri itu.

https://nasional.kompas.com/read/2021/09/11/07120061/september-1965-dan-kisah-orang-orang-buangan--

Terkini Lainnya

Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Senat Mahasiswa Driyarkara Ajukan Amicus Curiae, Minta MK Kabulkan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Ditanya Progres Komunikasi dengan PKB dan PPP, Gerindra: Jos!

Nasional
Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Ditanya Kemungkinan Gerindra Kembali Dukung Anies di Pilkada DKI, Gerindra: Anies Siapa?

Nasional
Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Dituding Jadi Penghambat Pertemuan Megawati dengan Jokowi, Hasto: Apa Perlu Saya Bacakan Komentar Anak Ranting?

Nasional
Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Survei LSI: Pemilih Anies dan Ganjar Tidak Puas dengan Penyelenggaraan Pemilu 2024

Nasional
Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Panglima TNI Minta Para Prajurit Tak Mudah Terprovokasi Berita-berita di Media Sosial

Nasional
Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi kasus APD Covid-19

Anggota DPR Ihsan Yunus Irit Bicara Usai Diperiksa sebagai Saksi kasus APD Covid-19

Nasional
Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Erupsi Gunung Ruang, TNI AL Kerahkan KRI Kakap-811 dan 400 Prajurit untuk Bantuan Kemanusiaan

Nasional
Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Pertemuan Prabowo dan Menlu China Berlangsung Tertutup di Kemenhan

Nasional
Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Menlu Retno Telepon Menlu Hongaria Bahas soal Iran-Israel

Nasional
Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Bahlil Ungkap UEA Minat Investasi Panel Surya di IKN

Nasional
Petugas 'Ad Hoc' Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Petugas "Ad Hoc" Pilkada Akan Beda dengan Pilpres, KPU Buka Rekrutmen Lagi

Nasional
Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Bertemu Hampir 2 Jam, Jokowi dan Tony Blair Bahas Investasi Energi di IKN

Nasional
Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Firli Disebut Minta Rp 50 Miliar ke SYL, Pengacara: Fitnah!

Nasional
Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasib Putusan Sengketa Pilpres 2024 jika Komposisi Hakim Menolak dan Mengabulkan Imbang

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke