Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jaksa Agung Sebut Disparitas Tuntutan Perkara Tindak Pidana Umum Tidak Lepas dari Adanya Pedoman Baru

Kompas.com - 14/06/2021, 15:28 WIB
Nicholas Ryan Aditya,
Dani Prabowo

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa Agung ST Burhanuddin menilai, adanya disparitas dalam tuntutan perkara tindak pidana umum tidak terlepas dari adanya perubahan dalam pelaksanaan Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

"Kita kan baru perubahan di dalam pelaksanaan. Kita memberikan suatu kewenangan untuk penuntutan ke daerah-daerah tertentu," kata Burhanuddin dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR, Senin (14/6/2021).

Oleh karena itu, ia mengakui bahwa ada kelemahan pihaknya dalam mengawasi dugaan munculnya disparitas tersebut.

Burhanuddin pun berjanji, disparitas tidak akan terjadi kembali dalam penuntutan perkara tindak pidana umum.

Pihaknya, lanjut dia, juga akan menjadikan dugaan disparitas sebagai fokus program ke depan.

Baca juga: Arsul: Kejagung Sudah Tak Lagi Murni Lakukan Penegakan Hukum, tapi Jadi Alat Kekuasaan

"Ini akan menjadi program kami, agar nanti Jampidum, tidak terjadi lagi disparitas. Walaupun kita memberikan satu kewenangan ke daerah, tetapi tetap pengawasan tetap ada pada kita. Jangan sampai ada disparitas ini terjadi lagi," tegasnya.

Adapun dugaan disparitas tersebut bermula usai anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP Arsul Sani mengungkapkan adanya perbedaan penuntutan terhadap orang yang bersebrangan dengan pemerintah.

Arsul menuturkan, Kejaksaan Agung sudah menerbitkan Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tuntutan Pidana Perkara Tindak Pidana Umum.

Akan tetapi, menurutnya pedoman itu justru semakin memperlihatkan disparitas tersebut.

“Saya lihat Pak Jaksa Agung, terjadi disparitas setelah keluarnya pedoman ini (Pedoman Jaksa Agung Nomor 3 Tahun 2019) yakni disparitas dalam penuntutan perkara tindak pidana umum,” kata Arsul dalam rapat Komisi III DPR, Senin (14/6/2021).

Ia menilai, disparitas tersebut cenderung tampak dalam kasus perkara terkait kebebasan berekspresi dan hak berdemokrasi.

Baca juga: Di Rapat Kerja, Anggota DPR Kritik Kejagung Seolah Jadi Alat Kekuasaan

Arsul menerangkan, orang yang bersebrangan pandangan politiknya dengan pemerintah dituntut maksimal 6 tahun.

Ia pun mencontohkan kasus-kasus terhadap Habib Rizieq Shihab, Syahganda Nainggolan, hingga Ratna Sarumpaet.

“Nah disparitas ini misalnya saya lihat yang sekarang sedang prosesnya berjalan tentu karena ini yang paling ramai di ruang publik misalnya dalam kasus Rizieq Shihab, dalam kasus Syahganda Nainggolan, dan juga dulu dalam kasus Ratna Sarumpaet, ini perkara ini dituntut maksimal 6 tahun,” jelas Arsul.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com