JAKARTA, KOMPAS.com – Pengacara Front Pembela Islam (FPI) Aziz Yanuar menilai, persoalan yang menimpa pimpinannya, Rizieq Shihab, dalam kasus kerumunan di Petamburan, Jakarta Pusat adalah ne bis in idem atau mengadili seseorang lebih dari satu hukuman.
Secara umum, pengertian ne bis in idem adalah asas hukum yang menyatakan perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.
Seperti diketahui, Pimpinan FPI Rizieq Shihab menjadi tersangka dan ditahan dalam kasus kerumunan di Petamburan.
Padaha sebelumnya, Rizieq telah membayar Rp 50 juta terkait pelanggaran protokol kesehatan pencegahan Covid-19 saat penyelenggaraan pernikahan dan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW pada Sabtu (14/11/2020) malam.
Baca juga: Hal yang Jadi Keberatan FPI dan Rizieq sehingga Ajukan Gugatan Praperadilan
Denda itu dibayarkan FPI selaku penanggung jawab acara di Sekretariat Laskar Pembela Islam (LPI) di Jalan Petamburan III.
“Itu kan ne bis in idem, sudah didenda tapi masih dipidana juga.Terjadi pengulangan sanksi terhadap kasus ini,” kata Yanuar saat dihubungi Kompas.com, Selasa (12/1/2021).
Kendati demikian ia memastikan tetap memperjuangkan keadilan bagi Rizieq Shihab pada praperadilan yang diajukan pihak FPI.
“Tugas dan domain kita hanya doa, usaha dan berjuang, semoga Hakim hatinya terketuk oleh Allah SWT untuk dapat menegakan hukum dengan adil terutama terkait HRS,” ucap Yanuar.
“Perihal hasil bukan urusan kami melainkan urusan Allah, kami berserah kepadaNya, apapun takdirNya kami terima dengan senang hati,” tutur dia.
Baca juga: Kilas Balik Sidang Praperadilan Rizieq, dari Keberatan Kuasa Hukum hingga Pembelaan Polisi
Secara terpisah, Ketua Bantuan Hukum Front Pembela Islam (FPI) Sugito Atmo Prawiro menyatakan keberatan pimpinannya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Menurut dia, ini pertama kalinya ada penetapan tersangka terkait kasus kerumunan.
Jika merujuk pada Pasal 93 UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, kata Sugito, disebutkan secara jelas mengenai jeratan hukuman yakni dapat dipidana 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta.
Adapun bunyi pasal 93 UU No 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yakni “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan sehingga menyebabkan kedaruratan kesehatan masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)”.
Baca juga: Gugatan Praperadilan Rizieq Shihab Akan Diputuskan Siang Ini
Menurut dia, berdasarkan pasal tersebut, pidananya bisa alternatif atau komulatif.
“Jadi bisa pidana 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100 juta, artinya bisa alternatif atau komulatif, yang jadi persoalan, setahu saya, ini yang pertama kali kerumunan ditetapkan sebagai tersangka dan itu HRS,” kata Sugito