JAKARTA, KOMPAS.com - Peran Polri di dalam pengamanan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja, jadi sorotan.
Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) M. Isnur mengatakan, menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 28 UUD 1945.
Bunyinya, "kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Oleh sebab itu, semestinya Polri tidak berhak melakukan penghalauan.
"Tidak boleh kemudian polisi justru menghalang-halanginya, membubarkan dan lain-lain," tutur dia.
Baca juga: Saat Massa Demo Tolak UU Cipta Kerja di Kota Tangerang Rusuh dan Jebol Blokade Polisi
Apalagi, Polri sampai mengeluarkan aturan internal yang berkaitan erat dengan substansi penyampaian pendapat.
Ada lagi aturan internal soal menggelar patroli siber di media sosial berkaitan dengan membangun opini publik.
Semestinya, Polri hanya bertugas mengamankan agar unjuk rasa tidak berujung pada kerusuhan.
"Maka seharusnya kepolisian sesuai dalam melaksanakan protapnya sendiri, tidak boleh membuat diskresi-diskresi di luar peraturan yang sudah ada, karena kita negara hukum," tutur Isnur.
Baca juga: Daftar Fasilitas di Jakarta yang Dirusak dan Dibakar Massa Saat Demo Kemarin
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Fatia Maulidiyanti juga senada.
Alih-alih fokus mengamankan unjuk rasa, Polri dinilai justru turut campur terlalu jauh dalam hal penyampaian pendapat.
"Polisi sebagai pihak yang memiliki peran mengamankan, seharusnya mengamankan, bukan malah memberikan provokasi-provokasi soal unjuk rasa merupakan sesuatu hal yang negatif," ujar Fatia saat dihubungi Kompas.com, Kamis.
Fatia mengatakan, belakangan ini Polri banyak mengeluarkan jargon-jargon ataupun himbauan-himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aksi unjuk rasa.
Menurut Fatia, hal itu luar mandat undang-undang mengenai kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul.
Baca juga: Mahasiswa Terluka Saat Demo di Cikarang, PMII Akan Lapor Polisi