Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gugat UU Pemilu di MK, Perludem Tak Minta Ambang Batas Parlemen Dihilangkan

Kompas.com - 08/07/2020, 21:36 WIB
Fitria Chusna Farisa,
Icha Rastika

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menegaskan bahwa gugatan mereka terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 di Mahkamah Konstitusi (MK) bukan untuk meminta majelis hakim meniadakan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.

Perludem mengajukan gugatan itu untuk memastikan keadilan dan konstitusionalitas pemberlakuan ambang batas parlemen dan kaitannya dengan sistem pemilu proporsional.

Hal ini disampaikan Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini saat menghadiri sidang pendahuluan uji materi ketentuan ambang batas parlemen Pasal 414 UU Pemilu di MK, Rabu (8/7/2020).

"Apa yang kami ujikan ke Mahkamah Konstitusi adalah bukan dalam rangka untuk meminta inkonstitusionalitas pemberlakuan ambang batas parlemen di Pemilu," kata Titi di Gedung MK, Jakarta Pusat, dipantau dari siaran langsung MK, Rabu.

Baca juga: Perludem: Pencairan Dana Tambahan Pilkada Rp 1,02 Triliun Harus Dikawal

"Kontekstualisasinya adalah bagaimana memastikan koherensi ambang batas parlemen yang ditentukan oleh pembuat undang-undang dengan sistem proporsional yang dianut oleh Indonesia," kata dia. 

Titi mengatakan, pihaknya menyadari bahwa MK sudah pernah memutus setidaknya 5 perkara terkait ambang batas parlemen.

Lima permohonan itu hampir seluruhnya mempersoalkan pengaturan ambang batas parlemen yang dinilai menghilangkan kesempatan partai politik yang sudah ikut pemilu untuk mendapatkan kursi di DPR.

Alasan lainnya, ambang batas parlemen dinilai membuat suara pemilih yang telah diberikan kepada partai politik yang tak lolos ambang batas parlemen terbuang sia-sia.

Terhadap argumentasi-argumentasi tersebut, pemohon mengaku memahami bahwa Mahkamah sudah berulang kali memutuskan ketentuan ambang batas parlemen adalah konstitusional.

"Apa yang kami mohonkan di dalam permohonan ini adalah dalam rangka untuk memastikan keadilan dan konstitusionalitas pemberlakuan ambang batas parlemen," ujar Titi.

Baca juga: Pusako: Ambang Batas Parlemen 4 Persen Jadikan Saja Tradisi Politik

Justru, menurut Titi, gugatan yang diajukan pihaknya berpijak dari putusan MK terdahulu yang menekankan bahwa ambang batas parlemen adalah konstitusional sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas.

"Jadi yang diujikan dalam permohonan ini adalah penentuan besaran ambang batas parlemen yang semestinya tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas tersebut," kata Titi.

Dalam petitum gugatannya, Perludem meminta MK menambahkan frasa tentang rumusan penentuan ambang batas parlemen di Pasal 414 Ayat (1) UU Pemilu.

Perludem meminta agar bunyi pasal tersebut diubah menjadi "Partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara yang ditetapkan berdasarkan rumus T= 75%/((M+1)* √E) atau T= 75%/((S/E)+1)* √E) atau T= 75%/((S+E)/E*√E, di mana T adalah ambang batas parlemen efektif, M adalah rata-rata besaran daerah pemilihan, S adalah jumlah kursi, dan E adalah jumlah daerah pemilihan, untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR".

Baca juga: Ahli Sarankan Ambang Batas Parlemen Jadi 5 Persen

Teori itu dinilai efektif lantaran menurut ahli pemilu Rein Tageepara, terdapat tiga variabel utama dalam menghitung angka ambang batas parlemen, yakni rata-rata besaran daerah pemilihan (M), jumlah kursi parlemen (S), dan jumlah daerah pemilihan (E).

Adapun rata-rata besaran daerah pemilihan (M) didapat dari jumlah total kursi daerah pemilihan (dapil) yang terisi dibagi dengan jumlah total dapil.

Untuk diketahui, di Indonesia ada 80 dapil. Setiap dapil bisa diisi oleh 3 sampai 8 calon legislatif.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com